Walau aku bukan orang asli Indonesia, aku cinta Indonesia. Entah mengapa,
saat pertama kali aku datang, ada suatu hasrat datang merasuki jiwaku untuk
mengagumi indahnya negeri nan kaya ini. Hatiku yang melihat segalanya yang ada
di Indonesia saat awal aku datang kemari membuatku jatuh cinta pada negeri ini.
Negeri Sang Garuda.
Aku adalah Mike. Seorang pemuda Australia yang datang ke Indonesia sekitar
tiga tahun lalu. Aku yang sangat penasaran dengan Indonesia, rela menggadaikan
rumahku untuk terbang menuju negeri nan subur itu. Awalnya keluargaku menolak
untuk aku yang masih berumur 25 tahun pergi ke negeri orang lain. Mereka takut
akan terjadi sesuatu padaku nanti apabila aku merantau ke Indonesia. Mereka
takut teror bom akan menghantuiku di sana, mereka takut aku dianiaya oleh
orang-orang jahat di sana. Namun aku berhasil menepisnya. Aku bertanya balik
kepada mereka, tidakkah sama apa yang terjadi di Indonesia dengan yang terjadi di
sini. Menurutku semua negara sama saja, hanya kita saja yang menganggapnya berbeda
karena pengaruh oleh media massa. Apalagi mama, yang beranggapan bahwa aku
masih terlalu muda, dan tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Aku pun juga
memberitahunya dengan baik agar ia mengerti seperti ini. Mama, mama memang mau tunggu aku tua untuk ke Indonesia? Mama mau aku
sampai kakek-kakek baru ke sana? Selagi aku muda, ma. Selagi aku punya tenaga,
dan semangat, aku ingin pergi ke Indonesia. Ya, memang aku tak tahu sama sekali
dengan negeri itu. Justru dari ketidaktahuanku muncul rasa penasaran dalam
hatiku yang malah memintaku untuk pergi ke sana. Mamaku pun akhirnya
mengerti bahwa keinginanku untuk pergi ke Indonesia bukan hanya keinginan
biasa, melainkan suatu tekad yang besar. Selanjutnya, mama mendukungku untuk
pergi ke Indonesia, dan malahan ia memintaku untuk mengizinkan ia mengurus
segala pembayaran, dan perbekalanku ke sana. Namun aku menolaknya, karena aku
akan berusaha ke sana dari hasil jerih payahku untuk pergi ke sana. Itulah niat
yang kubangun dari awal saat aku ingin pergi ke Indonesia.
Akhirnya, tepat pada hari raya Natal, 25 Desember 2007 lalu, aku berhasil
terbang dari Kota Brisbane menuju ke Denpasar dengan menggunakan maskapai
penerbangan Jetstar Airways. Aku yang
haus akan penasaranku terhadap negeri Indonesia akhirnya membawaku ke sebuah
pulau nan indah. Bali. Aku yang tak mengerti Bahasa Indonesia awalnya sangat
bingung, dan menggunakan jasa penerjemah yang ada di Bali. Dari penerjemah
itulah aku belajar banyak tentang Bahasa Indonesia, dan negeri Indonesia
sendiri. Penerjemah asal Pulau Dewata itu adalah seorang wanita nan cantik, dan
sangat ramah kepadaku. Namanya indah sekali yaitu, Putu Airlangga.
Aku merasa Bali, adalah surga bagiku. Dari panorama alam yang memukau
diriku, sampai hingga seni-seni, dan budaya-budaya lokal yang aku pelajari
perlahan-lahan. Semuanya hebat, dan fantastis. Dari budayanya yang sangat
mengagumkan, sampai keramahtamahan para penduduk lokal membuatku semakin merasa
bahwa Indonesia adalah rumah baru bagiku. Walaupun aku jauh dari keluargaku
yang berada di Australia, aku mempunyai orang-orang yang ramah di sekitarku.
Terutama Airlangga yang selalu mendampingiku kemanapun aku pergi. Selalu
bersama diantara kami membuatku mulai merasakan gejolak cinta yang ada di dalam
hatiku.
Setelah empat bulan pertama aku menetap, aku pun mulai mencari kerja. Tak
mungkin aku hanya mengandalkan uang yang kubawa dari Australia. Aku harus hidup
di Indonesia ini entah itu menjadi apa.
Awalnya, aku tertarik untuk mengajari bahasa inggris di sebuah sekolah di
sana. Namun, karena aku yang masih agak kurang lancar berbahasa indonesia
menolakku dengan alasan tersebut. Aku yang bisa bermain musik gitar pun tak
kehabisan akal. Aku berusaha akan mencari uang dari mengamen. Awalnya aku harus
mengamen di pinggir pantai dengan gitar yang kubawa. Aku menyanyikan lagu-lagu
zaman dahulu, seperti The Bee gees,
dan lagu dari The Beatles. Para turis
lainnya yang datang dari luar negeri yang mengetahui lagu tersebut mulai
bernyanyi, dan menari bersamaku tidak hanya itu, penduduk-penduduk Bali pun
terpesona mendengarku bernyanyi di sepanjang pantai Kuta.
Dari awal mengamen, aku akhirnya meraih pekerjaan, dan berhasil mencari
nafkah untuk diriku sendiri di Indonesia. Tapi bukan itulah, tujuanku kemari.
Aku yang bertekad untuk mencintai Indonesia lebih dari cinta turis biasa hanya
menganggap pekerjaan menyanyiku itu batu loncatan untuk tekadku itu. Aku pun
ingin pergi ke Kota Jakarta, kota yang termasuk 10 kota terpadat di dunia.
Karena aku percaya, dari kepadatan tersebut aku akan menemukan kisah-kisah
orang yang kecil, dan terpinggirkan di sana.
Setelah dua tahun berlalu setelah kedatanganku, aku yang sudah mulai
menjalin hubungan dengan Airlangga lebih dari sepuluh bulan, dan kelihatannya
hubungan kami semakin serius. Namun suatu hari aku meminta pendapatnya tentang
ideku tersebut.
“Hai, Airlangga. Sedang apa di sini?” tanyaku dengan logat Australia yang
masih melekat dalam tata bahasaku itu. Airlangga pun menoleh, dan melihatku
yang sedang mendekati dia, saat ia sedang menikmati sunset yang indah menawan.
“Hai, Mike. Aku sedang menikmati sunset
yang begitu indah di pantai ini. Kamu sendiri ada apa kemari, Mike?” tanyanya
halus, dan sopan.
“Aku ya? Aku ingin membicarakan sesuatu bersamamu, Airlangga. Tentang my real purpose saat datang ke Indonesia,”
jawabku agak memelankan nada suaraku. Aku masih agak bercampur dengan bahasa
inggrisku.
“Ya, what’s going on with your
purpose? Tujuan sesungguhnya apa sih Mike?” tanya Airlangga kepadaku sambil
mencampurkan bahasanya agar aku mengerti bila ada kata yang kulupa artinya.
“Aku kesini sebenarnya not for
holiday. I wish I can live in
Indonesia until I’m old. Kamu mengerti?” tanyaku walau aku yakin ia
sepertinya belum mengerti.
“Ya, aku mengerti. Sudah terlihat dari awal saat kau datang kemari,
Mike,”jawab Airlangga dengan yakin, hal itu membuatku terkejut sedikit.
“How can? Apakah kau berpikir aku
menjadi warga negara sini, dan menikahimu?” tanyaku agak tak percaya.
“Ya, mungkin, Mike. I’m sorry. I
think we can’t imagine what’s going on tomorrow.” tukas Airlangga dengan
nada yang rendah. Aku pun terdiam, penuh tak percaya bahwa setelah dua tahun
mengenalnya aku merasakan ia bisa membaca semua sisi kehidupanku.
“Yes, we are. But aku pikir, itu tak
mungkin terjadi Airlangga. Our wedding is
just our dream,” kataku dengan peralahan, Airlangga pun mulai terpaku, dan
menatapku tak percaya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya gagal untuk
mengeluarkannya.
“Tapi bukan maksudku aku ingin mengakhiri hubungan kita, Airlangga.
Maksudku, I’ve a plan to leave Bali three
days again. Aku akan pergi ke Jakarta, karena kudengar di sana masih banyak
orang-orang yang miskin, dan menderita. Di sana aku ingin berbuat sesuatu untuk
mereka, sesuai tekadku kemari. Aku cinta Indonesia, sangat cinta sejak awal aku
menapakkan kaki di sini. Maka dari itu aku ingin mengabdi untuknya,” jelasku
singkat. Airlangga akhirnya kini benar-benar terkejut. Aku mendengar bisikannya
yang seperti desisan “impossible”
keluar dari mulutnya yang berbibir merah muda.
“Maksud kamu, itu tekadmu datang kemari. Just live in Bali for stepping stone to Jakarta?” tanyanya dengan
mata berkaca-kaca.
“Ya, kamu benar,” jawabku tanpa ragu. Airlangga pun mulai meneteskan air
mata pertamanya. Aku pun sedih melihat itu, “Oh, please the girl tears are my weakness. Janganlah engkau
menangis, dear. Oke, begini
sebenarnya. Aku ingin pergi mengajakmu ke sana. Namun, I’m afraid your family won’t
give you permission,” kataku kepada Airlangga. Airlannga pun tertunduk, dan
diam. Aku mulai menaruh tanganku di kedua pundaknya.
“My girl, please go with me to
Jakarta, and we will show that our wedding is our future,” kataku sambil memandang Airlangga yang masih
tertunduk. Airlangga pun akhirnya mengangkat kepalanya, dan aku lihat ia mulai
berlinang air mata.
“Aku akan mencobanya, Mike,” tukasnya sambil menghapus air mata yang
membasahi pipinya. Saat ia mengusapnya, ia mulai menunjukkan senyumnya kembali
kepadaku.
“Are you serious?” tanyaku
kepadanya. Sungguh betapa terkejutnya aku. Sebelumnya aku berpikir bahwa ia
hanya mencintaiku biasa saja, namun kata-katanya tadi menunjukkan bahwa
sebenarnya Airlangga benar-benar serius kepadaku.
“Ya, aku serius. Aku akan meminta izin kepada ayahanda tentang keseriusan
hubunganku kepadamu. Mike, kau adalah orang asing pertama yang kukenal dekat
yang mencintai Indonesia lebih dari kebanyakan orang Indonesia saat ini,”
katanya kepadaku.
“Maksud kamu apa, Airlangga?” tanyaku heran mendengar pendapat Airlangga tentang
banyaknya orang Indonesia yang malah tidak cinta kepada negerinya sendiri.
Airlangga pun menceritakan keadaan Indonesia sebenarnya saat ini.
Keprihatinanku pun tiba-tiba menyambar jiwaku. Niatku untuk pergi ke Jakarta
pun semakin menggebu-gebu. Cinta pada pandangan pertamaku terhadap Indonesia
membuatku bertekad untuk mengabdikan diri pada Indonesia. Walaupun aku tahu
bahwa banyak rintangan, karena perbedaan membuatku akan sering terjatuh
nantinya. Hal itu akan siap aku hadapi, dan aku sudah berusaha untuk mencegah
segala yang buruk yang mungkin akan menghalangiku. Aku membuat rencana, dan
target sebelum aku terbang ke Jakarta.
Rupanya saat sehari setelah aku membincangkan segalanya dengan Airlangga,
salah satu rintangan besar menghalangiku. Airlangga tak diizinkan pergi ke
Jakarta.
“Ayah, tolong Airlangga, ayah! Izinkan, Airlangga pergi ke Jakarta demi
menemani Mike,” kata Airlangga sambil memohon kepada ayahandanya dan ibundanya.
“Tidak, anakku. Kamu tidak akan kami izinkan untuk pergi ke sana. Di sana
jauh lebih buruk dari pada di sini keadaannya. Biarlah Mike pergi sendiri ke
sana,” kata ayahanda Airlangga dengan sangat bijaksana.
“Nak, kamu adalah anak kami satu-satunya. Tak mungkin kami mengizinkan
engkau pergi demi Mike. Kita tak tahu apa maksud Mike yang sebenarnya. Ibu
takut sesuatu yang buruk terjadi kepadamu, nak. Lagian kaliankan belum terikat
pernikahan, menurut adat itu dilarang, nak,” nasihat ibunda Airlangga kepada
Airlangga.
“Tapi, ayah, ibu. Mike bukanlah orang jahat. Mike juga bukan turis biasa.
Mike adalah turis yang mencintai Indonesia,” kata Airlangga dengan nada memohon.
“Semua turis mencintai Indonesia, nak. Wajar sekali itu, kamu juga tahu
pastinya kan?” kata ayahanda Airlangga dengan pelan.
“Tidak, Mike bukan turis biasa. Mike mencintai Indonesia lebih dari kita
orang Indonesia sendiri,” tukas Airlangga dengan nada agak bijak agar
ayahandanya lebih mendengarkannya.
“Maksudmu, Airlangga?” tanya ayah yang terpancing oleh kata-kataku.
“Mike kesini bukan untuk liburan belaka. Mike juga bukan turis yang
menghabiskan dua tahunnya di sini hanya karena ia orang yang kaya raya di
negerinya sana. Ia juga bukan artis luar yang ingin mencari lapangan pekerjaan
di Indonesia karena di negerinya kurang tenar. Ia adalah turis yang benar-benar
bertekad untuk mengabdi kepada negeri kita sendiri. Maksud kepergian ia ke
Jakarta karena ia prihatin akan kemiskinan di sana. Ia prihatin di ibukota
negera kaya masih ada orang-orang yang selalu tersingkirkan. Harusnya hal
seperti itu mustahil baginya. Tetapi setelah ia tahu di Indonesia begitu, ia
berpikir bahwa tak ada sesuatu yang tak mungkin di dunia ini. Dari pemikiran
itulah, ia membangun niat yang besar untuk menolong mereka yang tersingkirkan
dengan cara memberikan pendidikan di sana. Yang perlu ayah ketahui adalah, Mike
salah satu siswa berprestasi tertinggi di universitas terkenal di negaranya.”
Ayahanda, dan ibunda Airlangga pun terdiam mendengar semua pernyataan
Airlangga. Airlangga pun menunjukkan juga beberapa data demi meyakinkan
ayahandanya, dan ibundanya. Ia juga memberikan website universitas tempat aku
kuliah sebelumnya, kalau saja ayah atau ibunya masih belum percaya. Ia pun
melanjutkannya.
“Ayah, ibu. Dari kepintaran Mikelah, Mike penasaran dengan Indonesia.
Negara besar, dengan sumber kekayaan terluas sejagat raya ini, membuatnya
tertarik untuk membaca sejarah, dan pendirian bangsa Indonesia. Ia berpikir
Indonesia seharusnya bisa menjadi negara Adidaya yang hebat, apabila semuanya
bersatu, dan tidak saling menjatuhkan. Maka dari itu, kehausan hasratnya untuk
datang ke Indonesia akhirnya membawanya ke negeri kita ini.”
Begitulah cerita Airlangga yang awalnya tidak diizinkan untuk pergi
bersamaku. Beruntung dari segalanya yang aku persiapkan bersama Airlangga untuk
membujuk ayahanda dan ibundanya berhasil seratus persen. Aku sangat beruntung
sekali membawa dokumen-dokumen pentingku demi sesuatu hal yang tidak
kuinginkan. Benar apa kata Airlangga, aku adalah murid terpandai di salah satu
universitas terkenal di Australia. Dan aku penasaran terhadap negeri Indonesia
saat awal aku membaca sejarah, dan literatur tentang berdirinya negara
Indonesia ini sendiri. Hal itu yang menyulutkan api semangat dalam jiwaku untuk
mau mengabdi untuk negeri ini.
Tepat pada hari Sabtunya, aku dan Airlangga siap terbang menuju Jakarta.
Tetapi sebelumnya, aku berkunjung ke rumah Airlangga untuk bertemu dengan
ayahanda dan ibundanya. Aku di sana meminta izin secara langsung, dan mengucap
janji akan menjaga Airlangga sepenuhnya. Aku juga menghormati adat setempat
untuk tidak menikahi Airlangga tanpa adanya persetujuan dari kedua orang tua.
Aku berjanji dua atau tiga tahun lagi aku bisa kembali ke Bali untuk
mempersunting Airlangga,
Dari Bali kami pun menempuh perjalanan hanya sekitar satu jam menggunakan
pesawat untuk sampai ke bandara Soekarno-Hatta. Setelah satu jam perjalanan,
kami segera melanjutkan perjalanan menggunakan taksi. Sesampai di Jakarta, kami
pun langsung mencari rumah yang disewakan karena waktu masih pagi. Dan
berdasarkan bantuan supir taksi kami yang ramah, ia menunjukan tempat atau
daerah dimana dekat rumah-rumah kumuh. Di sana kami mencari kalau-kalau ada
rumah yang disewakan. Beruntung kami menemukan sebuah rumah yang dikontrakan
yang kebetulan saja orang yang punya sedang ada di rumah itu. Kami langsung
saja berbicara dengan pemiliknya dan mengajukan sewa untuk rumah itu. Dan
berhasil, akhirnya kami menyewa rumah kecil itu yang tidak jauh dari
rumah-rumah kumuh yang ada di timur Jakarta.
Hari masih siang, masih ada waktu untuk membereskan rumah itu, dan
mengisinya dengan perlengkapan-perlengkapan kami. Walau baru menyewa rumah itu,
kami telah mengurusnya langsung, dan selesai pada esok harinya. Barang-barang
yang kami bawa tidaklah banyak. Ada sekitar 6 koper yang kami bawa beserta dua
tas ransel yang tidak terlalu besar. Kami pun hari itu juga membereskan rumah
itu, dan merapikannya.
Keesokan harinya, kami berencana istirahat sehari di Jakarta ini sambil
melihat keadaan keliling. Kami melihat banyak sekali sampah berserakan di
jalan. Didorong inisiatif kami yang tidak suka lingkungan kotor, kami pun
mengumpulkan sampah-sampah tersebut dalam sebuah kantong plastik besar sisa
kemarin. Kami pun membersihkan setiap sudut jalan tersebut. Sungguh ironis,
sampah berserakan dimana-mana, tapi tak ada satu orang pun yang peduli. Walau
memang kuakui, daerah tempat tinggalku ini memang sepi sekali.
Esok paginya, kami barulah pergi ke permukiman kumuh yang berada tak jauh
dari rumah kami. Menurut supir taksi yang mengantar kami, permukiman itu adalah
permukiman orang-orang asli Jakarta, dan rantauan, yang kebanyakan dari mereka
hanya pengangguran. Sesampai di depan gang permukiman yang hendak kami tuju,
kami sudah disapa oleh segerombolan anak-anak kecil yang hendak pergi entah
kemana. Dari pakaian mereka yang bolong-bolong,
dan penampilan mereka yang memperihatinkan, mereka berjalan melewatiku tanpa
ada keramahtamahannya. Airlangga pun mulai mendekatinya, dan bertanya.
“Adik-adik, kalian hendak pergi kemana?” tanya Airlangga halus saat kami
mendekati segerombolan anak itu.
“Kami ingin ke jalanan besar, kak,” kata salah satu dari mereka dengan
wajah polos.
“Untuk apa, dik?” tanya Airlangga lebih lanjut, tapi kulihat beberapa dari
anak-anak itu mulai berbisik tak jelas di belakang. Salah satu anak laki-laki
yang besar menjawabnya.
“Kami ingin bekerja, kak. Tak hanya ke jalanan saja, kami juga ada yang
keliling perumahan-perumahan dekat sini,” katanya dengan suara serak. Dari
suaranya aku tahu bahwa anak yang paling besar itu sepertinya sedang sakit
tenggorokan.
“Maksud kalian apa ya?” tanya Airlangga dengan pura-pura kebingungan
Saat anak-anak itu hendak menjawab, salah seorang pemuda datang mendekati
kami dari belakang anak-anak itu, dan berteriak, “Hai, kalian. Mengapa masih di
sini? Telat dapat setoran kalian nanti! Ayo buruan.”
Airlangga pun terlonjak yang mendengar hal itu. Aku pun mulai mendekat ke
Airlangga, dan membisikinya agar agak menjauhi anak-anak itu. Pemuda itu pun
akhirnya mengajak anak-anak itu pergi menuju jalan besar yang agak jauh di
belakangku. Airlangga akhirnya menyadari sesuatu, sehingga Airlangga tetap
memerhatikan anak-anak itu sampai mereka hilang dari pandangan kami.
Aku dan Airlangga lalu memasuki permukiman itu melalui gang kecil itu. Jalannya
sangat sempit, dan panjang sekali saat ditempuh. Di kiri-kanan ada rumah-rumah
kecil tanpa pekarangan sama sekali. Kami juga menjumpai beberapa ibu-ibu yang
sedang beraktivitas biasa, seperti mencuci, menyapu, dan lainnya. Saat kami
lewat, semua orang melihat kami dengan terheran-heran. Mereka menatapi kami
dengan pandangan penuh tanya. Beberapa pemuda di belakang kami, malah memandang
kecut kami.
Akhirnya pemuda-pemuda itu mendekati kami.
“Hei, bung. Ada apa kemari?” tanya salah seorang pemuda dengan nada kasar.
“Kami ingin melihat-lihat, mas,” jawabku sopan, sambi tersenyum kepadanya.
“Ha? Bule jalan-jalannya di sini? Di mal aja! Jalan-jalan disini,” kata pemuda lainnya. Aku pun akhirnya tak
tersenyum lagi.
Tiba-tiba, seorang tua mendekatiku dari belakang, dan bertanya sopan.
“Maaf, pak. Maaf, bu. Apakah kalian tersesat di daerah kami?” tanyanya
pelan kepada kami. Laki-laki tua itu berambut lurus dengan poni depan datar,
mirip sekali dengan personil The Beatles.
“Tidak, pak. Kami di sini hanya ingin jalan-jalan saja. Kami tidak
tersesat,” jawab Airlangga disusul dengan penyataanku.
“Tenang saja, pak rumah kami dekat dari sini. Kami hanya ingin melihat
sekitar.”
“Oh, begitu. Maafkan saya jikalau permukiman ini terlalu kumuh untuk bapak,
dan ibu pandang,” kata orang itu dengan ramahnya, ia pun melihatku dan agak
heran, lalu bertanya, “Kalau boleh tahu, apakah bapak asli orang Indonesia?”
“Bukan, saya orang Australia. Saya kemari untuk melihat kehidupan yang ada
di Jakarta,” kataku sambil tersenyum lebar.
“Kalau begitu mungkin bapak, dan ibu salah jika masuk sini,” kata laki-laki
yang ramah, dan bersahabat itu.
“Oh, tidak. Tidak, itu tidak benar. Justru saya mencari yang seperti ini,”
kataku dengan mempertahankan senyumanku.
Laki-laki tersebut bingung. Ia sepertinya ingin berrtanya kepadaku apa
maksudnya, tetapi ia agak malu. Entah mengapa orang-orang yang ada di sekitarku
juga bingung. Mungkin mereka bingung, orang asing sepertiku mengapa ada di sini.
Atau mungkin mereka bingung gara-gara kata-kata terakhirku tadi.
Lalu seorang ibu-ibu agak gemuk mendekatiku dari belakang. Ia mencolekku,
membuatku menoleh. Begitu juga Airlangga. Ibu itu pun bertanya.
“Apa maksud anda tadi, tuan?” tanyanya dengan ramah sama ramahnya dengan
bapak tadi. Aku yang tersenyum merasakan suatu getaran yang membuatku semakin
bersemangat untuk mengutarakan maksud kami datang ke tempat itu.
“Maksud saya, bila bapak-ibu sekalian mau bekerja sama dengan saya, saya
akan membantu bapak, dan ibu untuk memberi pendidikan anak-anak di sini tanpa
perlu dibayar,” kataku kepada mereka. Airlangga pun menambahkan.
“Maksud kami kemari, kami akan mencoba untuk memberikan pendidikan kepada
anak-anak bapak, dan ibu agar mereka bisa mencari pekerjaan yang lebih
mendatangkan penghasilan. Tidak hanya pendidikan, kami akan berusaha melatih mereka
untuk berseni dan berekspresi.”
Terdengar bisikan demi bisikan antar warga permukiman tersebut yang sekarang
ada di sekitar kami berdua. Bapak yang ramah tadi pun hanya bisa diam dengan
tatapan tak percaya kepadaku. Aku juga melihat ibu yang sama ramahnya dengan
bapak tadi bingung, Mereka sepertinya tak percaya akan kedatangan kami ini.
Salah seorang pemuda yang mendekati kami tadi pun berteriak.
“Bohong pasti itu bule! Pasti ada maunya dibalik semua ini,” kata pemuda
itu sambil memasang raut wajah kesalnya kepadaku.
“No, no, no! Saya serius, saya
akan tulus,” tukasku dengan mempertahankan senyumku kepadanya.
“Alah, bohong pasti. Mungkin saja ia akan memperdayakan kita suatu saat
nanti untuk membalas semua yang telah kau lakukan,” kata pemuda lainnya.
Diikuti para pemuda yang malas-malasan dibelakangnya yang mulai mendukung
pemuda itu. Aku pun mulai tidak diterima disitu. Aku dianggap ada maksud dari
perkataanku tadi.
“Tidak, kamu salah, pemuda,” bantu Airlangga, “kami tidak punya maksud apa
pun kecuali untuk membantu kalian. Kami tak ada kaitannya dengan politik,
agama, maupun ras. Kami bersih dari yang seperti itu. Kami datang dari jauh
untuk menunjukkan bahwa pendidikan itu milik kita semua. Rakyat Indonesia. Kamu
tahu, teman baikku Mike, yang datang jauh dari Australia ini akan bersedia
membantu bapak, dan ibu sekalian agar hidup lebih baik, terutama anak-anak yang
ada di sini yang memiliki ratusan cita-cita, dan mimpi mereka untuk
membahagiakan ayah ibunya. Kami akan membantu dengan segala apa yang kami
punya, dengan kerja sama dari bapak ibu.”
Pemuda yang tadi itu terdiam mendengar pernyataan Airlangga tersebut. Aku
tak tahu apakah perpaduan kecantikan Airlangga, dan kata-katanya barusan
membuat para pemuda itu mencerna apa yang aku maksud. Tapi tampaknya kedatangan
pertama kami ini adalah sesuatu yang mereka tunggu, entah mengapa hal itu
terjadi, namun kuakui sebagian besar dari mereka memang ramah kepada kami.
Para pemuda yang tadi mulai berbisik diantara mereka. Sedangkan pemuda yang
tidak percaya awalnya, mulai memercayai kami dengan menanyakan kepada kami
sesuatu.
“Apakah engkau bersedia memberi sebuah pekerjaan kepada kami?” tanyanya
kepadaku dengan nada agak pelan, dan tak sekasar tadi.
“Ya, saya akan berusaha jika kita bekerja sama dalam satu partner,” kataku kepada pemuda itu
sambil mendekatinya, aku pun melanjutkan kembali, “Kita ini adalah satu Indonesia,
satu keluarga yang hendaknya saling membantu tanpa memandang ras, agama, dan
golongan. Perbedaan diciptakan oleh Yang Maha Kuasa demi persatuan kita.
Perbedaan diciptakan agar kita saling melengkapi satu sama lain. Tak ada yang
sempurna diantara kita di dunia ini, karena sempurna itu muncul apabila kita
bersatu. Walau saya bukanlah asli Indonesia, namun saya sangat mencintai
Indonesia hampir menyamai mencintai diri sendiri.”
“Ya, betul sekali. Saya juga akan menambahkan kepentingan kita saling
menghargai adanya perbedaan. Tak perlu banyak bicara, itu kunci utamanya. Mari
bergerak bersama, dan kita pasti akan mengubah semuanya ini. Apabila ada
halangan, dan rintangan janganlah putus asa. Karena orang yang putus asa hanya
menyesal diakhirnya nanti,” lanjut bapak yang berponi depan rata tadi. Dan
warga yang lain pun mulai yakin terhadapku, untuk berbuat sesuatu bersama.
Benar sekali bapak itu, aku bisa menyimpulkan dari kata-katanya tadi bahwa
perubahan itu hanya bisa diawali dari diri kita sendiri. Namun, ada beberapa
pemuda yang tak mau mengerti, mereka pun mengeluh kepada temannya yang bersedia
memberiku kesempatan, dan pergi keluar dari permukiman, entah kemana.
Setelah pertemuan pertama pagi itu, aku dan Airlangga diajak untuk ke rumah
bapak yang menambahkanku tadi. Di perjalanan kami saling berkenalan, dan
bercerita singkat. Sesampainya, di rumah bapak itu, barulah kami tahu, bahwa ia
adalah tetua di permukiman tersebut. Di dalam rumah itulah, bapak yang
dipanggil akrab Babe Sami tersebut bercerita sesuatu.
“Nak, Mike. Nak, Airlangga. Maafkan pemuda-pemuda tadi ya. Mereka mungkin
belum tahu apa maksud kalian kemari,” katanya sambil mempersilahkan kami duduk.
“Ya, tenang saja kok pak,” jawab kami bersamaan.
“Ya pokoknya, babe di sini sudah memimpikan hal ini, dan ingin
melakukannya. Tetapi tampaknya, kalau babe saja yang bergerak, dan tak ada
orang muda yang bergerak, akan percuma saja,” cerita Babe Sami sambil ia
mengusap keringat yang ada di keningya, “mereka, maksud babe para pemuda tadi,
adalah sekelompok orang yang kurang memercayai orang lain. Termasuk babe
sendiri, waktu babe mengajak mereka untuk berubah dari hidup mereka yang
seperti ini., mereka malah menghina babe bahwa babe ini hanya berbicara mimpi.
Mereka bilang susah sekali untuk kita bisa berubah, apalagi tak ada yang bisa
menerima kita di masyarakat luar. Tapi untung saja kalian datang kemari.”
“Loh? Mengapa bisa begitu, pak?” tanya Airlangga yang duduk di sebelahku.
“Sudah panggil babe saja tidak apa kok, neng,” katanya sambil tertawa kecil,”Dahulu
sebenarnya tanah yang di dekat jalan besar itu adalah tanah daerah kami. Kami
yang sudah hidup biasa, dan layak mulai terusik oleh program pembangunan
pemerintah pada zaman orde baru. Yang katanya Jakarta akan dibuat seperti kota
di luar negeri. Pemerintah zaman itu, menghasut kami untuk menjual tanah kami
kepadanya dengan dijanjikan pekerjaan yang pasti. Memang awalnya kami boleh
menjadi buruh di tempat pembangunan mereka itu, tetapi mereka akhirnya menipu
kami, dan menelantarkan kami. Kami yang rakyat biasa pun tak bisa berbuat
apa-apa. Di atas hukum, kami tak bisa menang, karena pemerintah saat itu sangat
berkuasa di berbagai sektor, termasuk hukum Kami yang rakyat biasa pun tak bisa
melawan apa-apa. Apalagi rezim itu, sangat ditaktor sekali. Segala bentuk
aspresiasi yang melecehkannya akan ditentang, dan orang-orangnya akan diculik
secara diam-diam. Sungguh itu merupakan kesalahan kami untuk memercayai
pemerintah. Maka dari itu, banyak anak muda yang lahir pada zaman itu menyesal,
dan tidak akan mudah memercayai orang pemerintah lagi. Dalam mereka pun
tertanam, bahwa apabila ada orang yang berbuat baik berdasarkan pemerintahan,
dan partai politik, mereka tak akan percaya, dan tak akan menerimanya. Jikalau
menerimanya, mereka tidak akan terlalu mementingkannya.”
Babe bercerita panjang lebar sehingga membuatku terdiam, dan hanyut dalam
ceritanya. Aku tak menyangka kehidupan Indonesia ini sangat keras, terutama
masalah sosialnya. Butuh perhatian yang lebih dari orang-orang sepertiku, dan
Airlangga yang bersedia mengabdi untuk Indonesia.
“Kalian memang benar mau membantu babe kan?” tanya Babe Sami kepada kami.
“Ya, kami akan berusaha, be,” jawab Airlangga yang mendahuluiku.
“Lalu, apa yang akan kita lakukan besok?” tanya Babe Sami. Lalu, aku
menjelaskan beberapa rencana yang telah kususun spontan bersama Airlangga tadi
malam.
Setelah berbincang-bincang, dan menjelaskan rencana kepada babe. Aku
berpamit pulang, dan segera mempersiapkan segala rencana untuk besok. Demi
tambahan pemasukan, aku yang bekerja sebagai penyanyi di cafe-cafe Bali, kini
harus mencari cafe-cafe di Jakarta agar aku bisa hidup di Ibukota Indonesia
ini. Menjelang malam, aku dan Airlangga pergi mencari cafe-cafe terdekat di
daerah situ. Beruntung kami menemukan sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari
rumahku. Dan lamaran pekerjaanku di sana hari itu langsung diterima setelah aku
menunjukkan bukti bahwa aku pernah menyanyi di cafe-cafe yang cukup terkenal di
Bali. Airlangga pun senang kehidupan kami berjalan sangat lancar.
Esoknya aku, dan Airlangga pagi-pagi beranjak menuju permukiman yang
kemarin kami datangi. Saat sampai di permukiman itu tampak Babe Sami telah
menunggu kami di depan gang kecil, satu-satunya jalan tempat kami menuju ke
permukiman itu.
“Selamat pagi, be!” sapaku dan Airlangga hampir bersamaan. Babe itu menyapa
kami, lalu mengajak kami untuk segera menuju ke permukimannya.
Saat kami sampai di permukiman itu, pemuda-pemuda yang menolak kami membawa
anak-anak yang kemarin kutemui untuk keluar dari permukiman. Para pemuda itu
pun akhirnya bertengkar dengan Babe Sami, dan kami tak menyangka hal ini
terjadi. Karena para pemuda itu menyuruh anak-anak kecil itu mengamen, dan
mengemis. Saking serunya pertengkaran, pemuda yang lainnya tiba dan meleraikan
mereka. Masyarakat juga membantu agar tidak terjadi perkelahian.
Berkat itulah, kami berhasil menyarankan kepada pemuda-pemuda itu, dan
mengajak mereka berembuk bersama. Akhirnya, pemuda-pemuda itu bersedia membantu
kami berkat nasihat Babe Sami dan warga.
Setelah itu, aku dan Airlangga yang berencana mulai mengajar hari ini,
dibantu Babe Sami mengumpulkan anak-anak permukiman itu. Dan setelah terkumpul,
kami membagi kelas atas jenis kelamin mereka. Yang laki-laki bersamaku, dan
yang perempuan bersama Airlangga. Tempat mengajar kami bukanlah ruang kelas
sekolah, ataupun aula besar. Babe Sami telah menyediakan kami sebuah gudang tua
milik sebuah perusahaan zaman dahulu, yang kebetulan sekali kuncinya dibawa
oleh babe. Sedangkan Airlangga mengajar dirumah kami yang tak jauh dari situ. Awalnya
aku sangat ragu. Aku yang sedikit harus belajar lagi Bahasa Indonesia ragu akan
mengajar mereka seperti apa awalnya.
“Halo, teman-teman. Nama kakak Mike. Kakak mulai sekarang akan mengajar
kalian di tempat ini,” kataku dengan nada kanak-kanak yang kupelajari dari
Airlangga tadi malam, “Oke, pertama, kalian sudah kenal satu sama lain belum?”
“Sudah!” teriak salah satu anak yang paling tua diantara yang lainnya.
“Wah, sudah kenal? Masa sih?” tanyaku kepada anak itu, “Boleh kamu sebutkan
namamu terlebih dahulu nak?”
“Namaku adalah Fariz, umurku hampir sebelas tahun, aku mengenal semua yang
ada di sini, karena aku lahir lebih dahulu,” canda anak itu. Aku pun tertawa
kecil, anak yang lain hanya tersenyum.
“Oke, terima kasih, Fariz. Selanjutnya, ayo perkenalkan diri kalian satu
persatu. Sebutkan nama, dan umur kalian ya,” pintaku dengan nada anak-anak.
Mereka pun senang sekali memperkenalkan diri mereka satu sama lain. Setelah
saling kenal, aku yang membawa gitarku mengajak mereka bernyanyi bersama. Aku mengajak
mereka menyanyi pelangi-pelangi, kasih ibu, dan lagu anak-anak lainnya yang
Airlangga kasih tahu kepadaku. Dan aku pun terkejut melihat mereka memiliki
bakat-bakat suara yang sangat indah. Aku pun senang sekali melihat mereka bisa
bernyanyi bersama.
Setelah bernyanyi bersama aku mengajarkan mereka matematika, dari berhitung
penjumlahan pengurangan, hingga sampai perkalian. Susah sekali memang awalnya,
tapi dengan bantuan beberapa media, penjelasanku lebih mereka mengerti. Setelah
matematika, aku mengajarkan mereka bahasa inggris. Berawal dari belajar kata
ganti orang, seperti I, you, they, we,
sampai aku mengajarkan angka dalam bahasa inggris. Disela-sela belajar bahasa
inggris, aku juga mengajak mereka bernyanyi lagu anak-anak dalam bahasa inggris
yang sederhana. Mereka pun senang, dan gembira melewati hari pertama sekolah
bersamaku.
Setelah hari beranjak siang, aku pun mengakhiri kelasku, dan bertemu dengan
Airlangga, dan Babe Sami.
“Bagaimana anak-anaknya?” tanya Babe Sami kepada kami berdua, kami pun
tersenyum, dan saling menatap satu sama lain.
“Luar biasa, be! Exciting! Mereka
mampu belajar dengan cepat, dan punya talenta yang luar biasa,” jawabku diikuti
oleh Airlangga yang juga mengakui bahwa anak-anak di permukiman sangat semangat mengikuti pengajaran
kami. Babe Sami pun siangnya mengajak kami untuk menemui pemuda-pemuda kemarin.
Dan di sana, aku juga mengajar mereka bahasa inggris. Mengajari mereka bahasa
inggris ternyata sangat asyik, dan penuh canda. Karena baru kusadari mereka
adalah pemuda-pemuda yang humoris, dan aku melihat bakat-bakat akting mereka
yang luar biasa hebatnya. Namun, ada beberapa yang hebat dalam bermain gitar.
Gitarku berulang kali dipinjam oleh beberapa dari mereka demi memainkan
lagu-lagu band teratas Indonesia.
Suara mereka yang serak-serak bagus membuatku terpana, dan ingin mengajak
mereka untuk bersamaku membuat sebuah band
yang kiranya bisa tampil di cafe tempatku bekerja. Namun, hal itu tetap saja
butuh waktu untuk belajar lagi lebih lanjut.
Hari demi hari, aku dan Airlangga lewati di Jakarta. Tak terasa lebih dari satu
tahun kami telah mengabdi untuk permukiman itu, melalui pengajaran-pengajaran
yang kami berikan kepada mereka. Tak hanya berupa materi formal, namun kami
juga mengajarkan mereka agar dapat bersosialisasi satu sama lain dengan baik.
Kami juga mengajari mereka seni. Karena kami tahu bahwa mereka memiliki bakat
terpendam yang sebenarnya bisa mereka kembangkan, dan membawa mereka ke dalam
kehidupan yang lebih baik. Ada yang pintar bernyanyi sehingga kami membentuk
tim vokal, dari yang anak-anak hingga yang pemuda. Mereka pun menghabiskan
waktu bersama temanku yang merupakan penyanyi yang cukup terkenal di Kota
Jakarta. Ega Surya seorang penyanyi sekaligus pianis yang kukenal dari cafe
tempatku bekerja. Untungnya saja Ega bersedia membantuku membimbing tim vokal
yang telah berhasil kudirikan bersama Airlangga.
Tak hanya grup vokal lahir dari anak-anak permukiman itu. Bakat-bakat drama
juga lahir dari sana. Tanpa menyia-nyiakan bakat tersebut, Airlangga menghubungi
seorang budayawan terkenal kenalan ayahnya yang langsung diterbangkan dari Bali
untuk ke Jakarta membantuku dan Airlangga di Jakarta. Selain budayawan,
teman-teman Airlangga yang berasal dari Bali juga diajak untuk ke Jakarta dalam
rangka mengajarkan mereka menari tarian adat, khususnya Bali. Yang melahirkan
bakat-bakat menari dalam anak-anak perempuan permukiman tersebut.
Kami sering tampil keliling kota, dari kampung ke kampung. Kalau tidak di
kampung, kami tampil di pinggir jalan layaknya mengamen. Banyak orang yang
melihat kami, sehingga mereka mengundang kami ke berbagai acara. Kami pun
memperoleh penghasilan yang cukup sekali, dan membawa perubahan bagi warga
permukiman Babe Sami. Warga mulai percaya bahwa mereka bisa mengubah semua
keadaan ini apabila mereka bekerja sama satu sama lain. Babe Sami pun bangga
kepadaku, dan Airlangga yang telah mampu membuat anak-anak, dan pemuda-pemuda
permukiman itu berkreasi, beraspresiasi, dan bersemangat dalam menjalankan
hidup mereka.
Hingga suatu saat kami mempersiapkan sebuah drama musikal untuk penampilan
perdana kami di sebuah cafe. Cafe itu adalah cafe tempat aku bekerja. Dan
persiapan kami berlangsung lancar selama beberapa minggu. Namun saat persiapan
tersebut, aku dengar bahwa Babe Sami jatuh sakit. Tepat seminggu sebelum
pertunjukan kami, keadaan Babe Sami mulai parah. Kata dokter yang merawatnya,
ia mengidap penyakit gula darah yang sudah bertahun-tahun dideritanya, namun ia
tidak memberitahukan kepada siapapun. Belum lagi, ditegaskan oleh dokter bahwa
Babe Sami sudah cukup tua, dan keadaan tubuhnya sudah sangat sulit untuk
membuatnya sembuh. Dan dokter yang merawat Babe Sami menegaskan bahwa penyakit
gula darah itu menyebabkan penyakit jantung yang tak disadari oleh Babe sudah
mencapai tahap stadium tiga.
Aku, dan Airlangga, beserta keluarga Babe Sami yang mengetahui hal itu
sangat terkejut sekali mendengar keadaan Babe Sami yang sudah amat kritis. Aku
sangat menyesal karena aku tak bisa mengadakan drama musikal ini lebih cepat
agar bisa dilihat oleh Babe Sami. Andai saja aku bisa mengadakan perubahan
lebih cepat daripada semua yang telah terjadi, mungkin Babe Sami telah bisa
melihat hasil sekarang ini. Aku, dan Airlangga sangat menyesal, karena Babe
Sami belum melihat hasil jerih payah kami.
Tanpa jerih payah Babe Sami, tanpa dukungan dari Babe Sami. Kami tak
mungkin sampai sejauh ini. Mungkin akan lebih sulit lagi untuk memberikan
pengabdian kepada mereka yang membutuhkan. Banyak sekali yang kami pelajari
dari Babe Sami, dari keramahannya, sikap tidak mendendamnya, semangat untuk
perubahannya, membuat niatku terwujud sempurna untuk mencintai negeri Indonesia
ini. Justru sosok Babe Samilah yang memperkuat cinta pertamaku kepada Negeri
Sang Garuda ini.
Dan, tepat saat malam kami menampilkan drama musikal di cafe ini, Babe Sami
dikabarkan telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Ia telah pergi kepada
Sang Penciptanya. Ia kini telah sampai di tanah air surgawi bersama penciptanya
yang tunggal. Kami pun, yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, merasa sangat
kehilangan. Terutama para pemuda, dan anak-anak permukiman tempat aku, dan
Airlangga mengabdi. Mereka sedih kehilangan sosok yang begitu penuh
semangat, dan tak kenal menyerah. Sosok
yang seperti ayah mereka sendiri. Babe Sami.
Walaupun hanya lebih dari satu tahun, aku, dan Airlangga mengenal Babe
Sami, namun aku yakin ialah yang memberikanku kesempatan untuk mencintai
Indonesia yang sesungguhnya. Dari segala teladannyalah aku memberikan
aspresiasi yang sangat besar kepadanya. Dan untuk menghargai segala jasa Babe
Sami, kami akhirnya mendirikan Yayasan dan Sanggar Babe Sam untuk masyarakat
yang kurang mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar