27 Desember 2012
Dana yang keluar:
1.
Masuk Daerah wisata Kaliurang 3000 per orang
2.
Parkir 2000 untuk motor, 4000 untuk mobil
3.
Tour dengan Jeep Rally 250 ribu per tur pendek.
(5-6 orang)
4.
Total dana: 52 ribu per orang.
06.30
Awal Petualangan
Diawali
dengan sang surya yang menyembul di timur kota ini. Kota Yogyakarta. Kota
seribu tempat wisata yang merupakan kota tempatku menempuh ilmu juga. Di kota
inilah beberapa petualanganku lahir. Walau di tengah-tengah kesibukan kuliahku,
aku selalu sempat berlibur ke beberapa tempat wisata. Tempat wisata yang
menggambarkan bagaimana indahnya dan surgawinya negeri khatulistiwa ini. Negeri
Indonesia.
Pagi
itu, adikku berteriak kencang dari bawah tempat tidurku.
“MAMASSS!” teriaknya seperti biasa.
Teriakan yang justru aku rindukan selama satu semester berpisah karena ia masih
sekolah di Cikarang. Karena asalku
Bekasi.
Dengan protes berat aku bangun.
Maklum dengan tidur lewat tengah malam, pagi ini aku harus pergi ke kaki
Merapi. Gunung teraktif di negeri ini.
Aku lihat tempat tidur sekitarku.
Dan kosong. Apa?? Kosong? Pikirku. Hanya selimut dan bantal yang bisu
menertawaiku. Jelas. Pagi ini, yang lainnya sudah sarapan di sebuah vila di
kaliurang atas. Vila yang kami sewa sekeluarga. Omah Jawi.
Keluarga besar dari ayahku sedang
berlibur di Yogyakarta. Semua berkumpul, dan berjalan-jalan bersama. Ya, itulah
rutinitas kami setiap liburan natal. Bersenang-senang!
Aku segera saja mandi, dan mencuci
mukaku. Untuk menghilangkan segala kantuk yang masih merasukiku. Tetapi saat
menyentuh air gunung yang super dingin, aku mengurungkan niatku untuk mandi.
Dan akhirnya aku benar-benar tidak mandi.
Tidak mandi sudah biasa. Sebab
kalau di kaliurang atas, setiap detiknya kita sudah mandi dengan embun-embun
yang membasahi kulit kita.
Segera saja aku sarapan. Sarapan
yang enak demi mengisi tenaga untuk berpetualang hari ini. Rencana, kami
sekeluarga besar ingin berlibur ke kaki Merapi. Ya, sebuah tempat yang
ekspektasiku hanya biasa-biasa saja. Sebab, seringkali aku ke kaliurang , dan
mendapati Merapi yang masih jauh. Aku pun tidak tahu bagaimana jalan ke tempat
wisatanya selama satu tahun menetap di Jogja.
Perjalanan kami pun dimulai. Lima
mobil melesat ke arah Merapi, dari villa yang kami tempati tadi. Hanya sekitar
lima belas menit ternyata.
Selam di perjalanan, ada beberapa
bangunan bekas terkena egek letusan
Merapi menyambut kami. Mereka terdiam terbata menatap sang gunung penguasa kota
ini. Hingga kami temui sebuah bukit di sebelah kiri perjalanan kami. Bukit yang
hijau itu dipenuhi ilalang dan rumput hijau yang membentang. Ditumbuhi pohon
yang tak berdaun, dan menatap kami dengan senyum cakrawala berada di baliknya.
Setelah mengarungi perbukitan di samping kiri
kami, lima belas menit kami akhirnya sampai di hadapan Mahakarya Tuhan di utara
Kota Yogyakarta. Kami berada di kaki Merapi. Sebuah tempat yang mampu membuatku
tercengang. Sebuah kaki gunung yang mampu membuat bola mataku meleleh akan
kemegahannya. Ia berdiri disana, di antara awan bulu putih. Berbalut hijaunya
rimba bercampur cokelat manis sang pasir.
Udara sejuk menyapu rambut kami
semua, saat menginjakkan parkiran berpasir. Aku tersenyum saat memandangi
panorama surgawi di kaki gunung. Hutan menguliti kaki gunung itu, pohon-pohon
menari indah seiring dengan hembusan angin. Dan langit yang dipenuhi warna biru
terang menjadi atap kami di pagi hari
ini.
Kulihat awan bertekuk lutut indah
di tilas langit. Terukir unik, ibarat potongan gambar dari sebuah kreasi
potongan kertas lengkung. Tergantung indah di angkasa, dan tersenyum, seolah
mengatakan: Selamat datang di Merapi!
Kami pun langsung berfoto ria
bersama awan. Walau kamera yang kugunakan hanyalah kamera handphone, namun
hasilnya cukup bernilai, karena setiap dari gambar berukuran kecil ini,
memiliki sebuah nilai pengalaman yang besar. Sebuah foto yang membawaku kembali
ke petualangan hari ini nantinya.
Pertama-tama, kami cukup bingung
memilih jalan, atau naik jeep rally. Sebab, kami tidak tahu seberapa jauh jarak
untuk ke kaki gunung Merapi. Pernah terjadi perdebatan akibat ketidaktahuan
kami. Kami melihat mobil yang ingin naik ke atas, padahal kita sudah terlanjur
di parkir di tempat ini. Dan kami mengira bahwa kita bisa membawa mobil sampai
atas. Sampai salah satu tukang parkir memberitahu kami tidak bisa membawa mobil
kami ke atas, sebab medan yang ditempuh
sangat sulit, dan cukup bahaya.
Kami pun akhirnya memutuskan untuk
bertanya ke tur rally yang ada di dekat parkiran. Orang disana menjelaskan
bahwa ada tiga jenis tur yang ada dalam pelayanannya. Yang pertama, tur 1 jam.
Yang kedua adalah tur 2 jam, dan yang ketiga tur 3 jam. Karena aku tidak
mengetahui bagaimana jenis-jenis turnya aku tidak tahu, tetapi sekilas dari
poster yang kulihat, pengalokasian tempat yang dikunjungi sebagai berikut:
1.
Tur satu jam: Kaliadem, Batu alien, Kaki Gunung
Merapi
2.
Tur dua jam: Kaliadem, Batu alien, Kaki Gunung
Merapi, Sebuah Desa yang terkena lahar
3.
Tur tiga jam: Kaliadem, Batu alien, Kaki Gunung
Merapi, Desa terkena lahar, Makam Mbah Marijan
Kira-kira seperti itu perincian
yang ditawarkan. Dan akhirnya karena pengaruh harga, dan jumlah orang yang mau
ikut terlalu tinggi, maka kami memutuskan untuk tur yang satu jam. Dan lima
buah jeep rally dipersiapkan.
Pertama kali aku mengira, jalanan
di sepanjang jalan sudah aspalan semua. Namun kenyataan yang kuterima berbeda.
Sebelum memulai perjalanan kami,
kami sempat meributkan tentang pembagian jeep. Sempat aku ditaruh di
saudara-saudaraku yang kecil, untuk menjagai mereka. Aku pun bersedih, karena
aku sebenarnya ingin sekali menikmati tur ini bersama saudara-saudara yang
sudah sebaya denganku. Namun untungnya, aku pun berhasil melaksanakan tur ini
sejeep dengan saudara-saudara sebayaku. Dan perjalan menarik pun dimulai dari
detik aku menaiki jeep itu! Let’s ride!
Jeep yang kutumpangi berwarna hijau
tua, dengan spion keras, dan cukup besar. Ban raksasanya menggilas setiap
kerikil yang ia lewati, dan tampilannya yang kuno eksotis membuat kami tampak
seperti backpacker sejati yang siap mengarungi medan petualangan kami.
Kami pun berfoto ria di sepanjang
kami mempersiapkan perjalanan kami. Sayang ada beberapa saudaraku yang tidak
ikut. Tetapi tidak apa 5 jeep dengan full keluarga besar dari kakek ayahku siap
berpetualang pagi ini.
08.25. Welcome to Merapi
Jeep berjalan. Supir jeep telah
menyalakan mesin jeep, dan menggas jeep tersebut. Dan petualangan ke Gunung
Merapi siap dilaksanakan.
Kami bersorak bergembira, hingga kami
meninggalkan keramaian parkiran dan tempat istirahat awal.
Jeep membawa kami ke sebuah jalan
kecil. Dan masih beraspal. Namun saat kami sudah sampai di sebuah pertigaan,
kami mengambil jalan kecil, berpasir dan berbatu. Aku tidak tahu jalan itu
jalan apa sebenarnya. Tetapi yang jelas, sebuah jalan offroad siap menyambut
kami.
Benar saja. Ilalang kuning
kehijauan menghiasi jalan kecil berpasir itu. Dan lama kelamaan, kami menyadari
bahwa ada sebuah turunan curam di hadapan kami. Turunan yang membawa kami ke
sebuah kali bekas lahar dingin Merapi mengalir. Kaliadem. Kali yang sangat
lebar, dan dalam.
Dasar sungai yang kini mengering
dan berpasir itu menyambut kami pagi ini. Beberapa dari kami berteriak penuh
gembira saat melihat kenampakan alam pertama kaki gunung ini. Kali itu bagi
orang yang selalu memandang kepadatan kota menjadi cicipan pertama pandangan
kita. Namun bagiku yang sudah pernah ke salah satu kali di kaliurang,
merasakannya biasa saja.
Tetapi, karena aku terlarut dalam
kegembiraan bersama para saudaraku yang dominan dari Jakarta, aku pun merasakan
suatu perjalanan offroad yang luar biasa. Kami berdiri di atas jeep, menikmati
tebing-tebing berhiaskan lumut yang tinggi menjulang. Batu-batu sungai yang
menghiasi perjalanan kami pun tersenyum senang melihat canda tawa kami.
Jeep kami bergoyang tak karuang,
membuat kami terombang-ambing di atasnya. Dengan berpegan kedua tangan, aku
tidak sempat mengambil gambar saat di kali itu, sebab jalanannya benar-benar
membuat kami harus menjaga keseimbangan kami. Namun kunekatkan diri, untuk
mengambil gambar dengan kamera Canon punya saudaraku, dan hasilnya pun lumayan
bagus.
“Mas, lihat belakangmu!” seru
saudaraku yang masih berusia 12 tahun. Laki-laki berkulit hitam, dengan kelopak
mata cembung, dan hidung yang sedikit pesek. Rambutnya yang terkulai lemas di
atas kepalanya pun tersisir angin dengan rapi.
Aku bersama beberapa saudara yang
lainnya pun serentak menoleh ke belakang, dan Oh my God! Singgasana megah khas
Merapi terpajang gagah di ujung pandangan kami. Bila kudeskripsikan Merapi pagi
itu mungkin keadaanya seperti ini.
Merapi seolah terbelah menjadi dua
pola, yang di sebelah timur ialah lereng dasar Merapi nan hijau. Dilapisi oleh
pohon-pohon menjulang, dan lelumutan, serta ilalang-ilalang tinggi. Belum di
tambah suasana hijau pemandangan sekitar Merapi, dan sungai besar yang
terbentang luas menyebar ke segala arah dari gunung itu.
Sedangkan sisi kiri Merapi dari
sudut pemandanganku ialah pasir cokelat, dan pasir abu-abu yang melapisi puncak
lereng itu. Namun sebagian kecil dari lereng atas Merapi terbalut dengan awan
putih seperti bulu biri-biri. Langit biru terang membentang, sebagai latar
belakangnya. Alas hijau terjabar dalam bentuk sawah, hutan-hutan kecil, dan
lapisan lumut yang melumuri tanah sekitar gunung itu. Walau tidak terlihat
cukup jelas, namun keindahan Merapi saat itu cukup untuk sebagai hidangan
pembuka mata pagi ini.
Setelah melepas offroad di
Kaliadem, kami menaik sebuah jembatan aspal yang rendah. Kami menyebrang kali
itu, dan tepat di ujung seberang jembatan itu, kami berhenti sejenak. Walau
jarak terhadap Merapi lebih jauh, namun Merapi tampak lebih anggun jika dilihat
dari jarak sejauh ini.
Kami berhentu menikmati pemandangan
tebing kali tersebut, dengan Merapi nun jauh disana berada di tengahnya. Waktu
itu awan membuka wajah sang puncak, namun hanya beberapa saat kami berfoto
saja. Setelah tiga foto terakhir, awan berbulu itu menutupi puncak lagi.
Setelah kami beristirahat sejenak
dengan berfoto ria, kami pun langsung menaiki jeep kami untuk menempuh
perjalanan kami selanjutnya. Dengan melewati bekas desa yang pernah terkena
awan panas, kami merasakan suasana hening yang mencekam. Bangunan dan
reruntuhan bangunan itu menatap kami penuh kesedihan. Seolah cerita mengenai
bagaimana awan panas itu kemari beberapa tahun silam, tersampaikan melalui
kesedihan yang tampak dari bangunan itu. Hanya sesaat saja saat melewati
reruntuhan bangunan itu, sebab, bangunan ini adalah sisa peninggalan bangunan
sebelum erupsi Merapi tahun 2006. Karena yang pada saat 2010 waktu itu ke arah
barat. Walaupun begitu keadaan haru dan sedih menyentuh benak kami saat
melewati reruntuhan bisu tadi.
Tak lama kami mengarungi ladang
ilalang, dan tebing-tebing kecil, kami pun akhirnya melewati sebuah padang
pasir yang ada di tenggara tempat awal kami tadi. Padang pasir yang penuh
dengan rumput-rumput tumbuh karena reboisasi alami. Disana terjabar luas pemandangan
sekitar Merapi. Teramat luasnya padang itu, mampu menyimpan berbagai warna
panorama. Pertama, jelas Gunung Merapi makin dekat terlihat dari titik itu,
kedua ialah, bebatuan yang terletak di timur laut padang pasir ini. Ketiga
adalah Green Canyon kecil yang terbuat di sepanjang kali dekat situ. Lelumutan
yang melapisi lapisan tebing kali itu membuat kali itu seolah seperti canyon,
dank arena lumutnya berwarna hijau, jadi seperti Green Canyon. Belum lagi
kelok-kelokan halus di sepanjang selusur sungai itu, yang membuat lapisan
tebing itu indah terlukis disana. Lalu ada hutan kecil di seberang sungai.
Hutan kecil itu terdiri dari pepohonan pendek yang berjajar rapi karena
reboisasi non alamiah. Para penduduk warga pun yang menanam tanaman itu.
Foto 1.1 Saat bersama-sama diatas
Jeep.
Uniknya lagi, salah satu tujuan
kita kemari adalah karena sebuah batu yang jatuh dari lereng Merapi. Batu yang
unik, yang menyerupai ukiran wajah manusia. Batu yang dinamai oleh warga
setempat: Batu Alien.
Batu Alien itu berdiri tegap di
antara lautan pasir. Dengan berbagai panorama di sekitarnya. Batu itu dipasang
di sebuah area tertentu, dengan dibuat juga gapura dari kayu. Gapura kecil
tempat kita masuk dan menikmati bukit kecil pasir dan batu itu, dihiasi oleh
tengkorak hewan-hewan korban erupsi tahun 2010. Sungguh membawa perasaan
mencekam, namun sangat indah untuk dinikmati.
Foto 1.2 Bersiap melanjutkan
perjalanan ke singgasana Merapi.
Kami tidak bisa menikmati panorama
itu terlalu lama, hal itu disebabkan oleh karena waktu yang terbatas pada tur
kami kali ini. Sehingga dengan waktu yang singkat, kami pun segera melesat ke
suatu tempat dimana Maha Karya itu terlihat dengan jelas. Tempat pandang
Merapi.
Untuk mencapai daerah yang menjadi
titik puncak perjalanan kali ini, kami melewati pinggiran kali, dan beberapa
hutan kecil. Kami mulai mendekat dan terus mendekat ke arah gunung teraktif
ini. Hingga kami menemui padang pasir kembali. Padang pasir yang letaknya
kurang dari 4 kilometer dari puncak Merapi. Super menakjubkan pemandangan di
tempat ini.
Tidak hanya menikmati pemandangan
gunung indah itu, melainkan seluruh wajah Kota Yogyakarta pun terlihat. Dihiasi
awan yang indah. Awan yang tertenun dalam atmosfer. Belum lagi berbagai
panorama yang tercipta disekitarnya. Akhirnya kami pun menginjak tanah surga
Yogyakarta. Kaki Gunung Merapi. Dan berikut salah satu bagian dimana saya
menaiki sepeda motor offroad dibawah
lukisan langit yang indah.
Foto
1.3 Disaat bersepeda motor di kaki gunung.
Di hadapan sisi satunya terdapat pemandangan
kaki gunung yang hijau, dan megahnya Gunung Merapi. DIhitari pemandangan kali
yang bertebing tinggi, pepohonan cemara, dan bukit yang hijau membuat mata
terasa sejuk sekali. Awan kala itu benar-benar tidak bersahabat. Ia menutupi
eloknya tubuh Merapi kala itu. Ya berikut kurang lebih pemandangan yang bisa
saya dapatkan dari sana.
Foto 1.4 Bersama Sang Fenomenal
dari Yogyakarta.
Setelah puas menikmati panorama
menakjubkan di Merapi ini, kami melewati lautan pasir menuju sebuah rumah dimana
di rumah itu terjadi peninggalan sejarah meletusnya Merapi tahun 2010. Ya,
letusan mahadahsyat itu terkenang abadi dalam benda-benda yang tersimpan
disana.
Berikut adalah penggalan foto yang
menggambarkan benda-benda tersebut.
(Foto masih di dek kio)
Beberapa warga menjaga rumah
peninggalan sebuah keluarga yang hancur tersebut. Disana terdapat foto-foto
using, sendok-sendok bengkok, bangkai sepeda motor, bangkai seekor sapi ternak,
jam saat meletusnya merapi yang rata dengan dinding, lalu uang yang lebur, dan
beberapa perabotan rumah lainnya. Sungguh mengesankan karena mampu merasakan
aura kesedihan yang luar biasa jika memasuki rumah tak beratap itu.
Karena sungguh dahsyatnya Merapi
kala itu, ternyata ada sebuah kisah persahabatan yang diceritakan sekilas oleh
seorang penjaga rumah itu.
“Waktu meletusnya Merapi tahun
2006, ada sepasang sahabat yang terjebak saat
meletusnya gunung itu. Seorang diantaranya tidak selamat karena terlebih
dahulu terkena salah satu awan panas, yang satunya selamat karena berada di
bunker. Namun karena kurang beruntung, bunker tersebut ternyata ditimpa oleh
bebatuan dari Merapi. Sehingga saat awan panas menyapu daerah itu, sahabat
satunya terpanggang oleh awan panas itu, menyusul sahabat yang satunya. Dan
salah satu dari mereka adalah teman saya.”
Membayangkan cerita itu, sungguh
membuat fantasi liarku menggambarkan apa yang terjadi. Aku sempat berpikir,
betapa panasnya berada di dalam bunker yang digilas oleh awan panas. Seolah,
kita benar-benar terpanggang dalam sebuah oven. Dan rasanya pasti menyakitkan.
(Semoga arwah para korban Merapi
yang tertulis dalam cerita ini dapat diterima disisi Yang Maha Kuasa, dan
diberkati selalu dalam kuasa-Nya.)
Kemudian segera itu, kami kembali
lagi ke penginapan kami. Dan merasakan petualangan yang seru kali ini. Berharap
lain kali bisa ke tempat ini bersama orang yang dikasihi.