Dawai sebuah biola bergetar dengan penuh kecupan dari jemari manisku. Menggelorakan
sebuah keindahan suara yang harmonis. Ruangan hening tempatku membisu dalam
bawah sadarnya demi mendengarkan alunan melodi yang keluar dari biola tuaku.
Simponi sedu sedan nampak dari Moonlight
Sonata yang bergema di seluruh penjuru ruangan tempat aku sendirian.
Suasana yang hampir mendekati hampa menghanyutkanku dalam setiap aroma nada
lagu klasik kesukaanku tersebut.
Saat memainkan partitur akhir, keringat di keningku mengalir deras
membasahi wajahku yang terpantul cahaya lampu. Mataku yang tertutup pun mulai
risih oleh keringat yang berada di selaput mataku. Ingin kuusap rasanya, namun
mungkin nanti setelah Moonlight Sonata
habis kumainkan. Namun kurasakan, tak hanya keningku yang membanjiri wajahku.
Dada dan tubuh belakangku mengalirkan setetes demi setetes keringat dari
seluruh pori-pori kulitku. Memang semua itu dikarenakan ruangan itu tak ada
kipas atau pendingin ruangan, hanya selubang kecil ventilasi yang membiarkan sang
angin menghembuskan kesegarannya.
“Hah, selesai juga akhirnya,” kataku sambil menurunkan biolaku yang elok
dari jepitan dagu dan bahuku. Tubuh biola yang semampai kupegang dengan segala kehalusan kayunya
kurasakan di kulit telapak tanganku.
Kumasukkan biolaku yang kini sudah tua namun tetap dalam keadaan baik
kedalam tas biola yang kusandarkan di tembok yang berada didekatku. Pelan-pelan
kutaruh biola penuh kebesaran itu kedalam wadahnya yang juga masih bersih dan
bagus. Penuh kebesaran artinya melalui biola inilah almarhum ayahku menjadi
seorang maestro musik klasik yang diakui di negeri ini. Banyak sekali
mahakarya-mahakarya yang keluar dari gesekan biola yang dimainkan oleh jiwa
mendiang ayahku sebagai seorang maestro sekaligus longman-seorang pencinta musik klasik.
Saat aku mengendurkan bow-tongkat
penggesek biola, terbukalah pintu ruangan itu. Gesekan kayu dan lantai yang
mencicit menandakan bahwa kayu pintu tersebut sudah cukup tua. Kemudian dari
siluet-siluet yang tampak, tergambarlah seorang perempuan masuk ke ruanganku.
Dan akhirnya, muncul sosok yang amat aku sayang dengan kecantikannya yang
sungguh menawan.
“Sudah, kamu latihannya, Beethoven kecilku?” tanya ibuku dengan menggunakan
panggilan ayah kepadaku yang masih nampak muda belia. Ia pun tersenyum manis
dan mendekatiku dengan aura kasih sayangnya yang hangat terasa.
“Ya, baru saja selesai kok, bu,” senyumku kepadanya sambil mengusap kening
dan wajahku dengan sapu tangan, hadiah ulangtahunku tahun lalu dari mantan pacarku,
Aurelia.
“Wah, panas ya? Kamu sih selalu tidak mau pakai pendingin ruangan atau
kipas disini,” tukas ibuku sambil meniupiku dengan angin yang keluar dari
bibirnya yang halus.
“Tidak juga kok, bu. Lagian kalau panas itu penghayatannya lebih mendalam,
dan mampu menghasilkan suara yang lebih indah. Soalnya kan,” kataku terpotong
oleh ibuku yang melanjutkannya.
“Ya, soalnya kan biola itu kalau dalam udara yang dingin bisa sumbang kan?”
sanggah ibuku seperti itu. Aku pun tertawa kecil dan mengangguk. Ibuku pun
melanjutkannya, “Kau sama seperti ayahmu saja.”
“Terus tidak hanya itu saja bu,” kataku sehingga menarik keluar penasaran
dalam ibuku.
“Oia? Apa lagi? Gaya atau kata-kata ayahmu lagi ya?” terkanya sambil
menyenggolku.
“Haha.. Mungkin, tapi tidak tahu juga sih aku. Sepertinya ini gayaku,”
jawabku sambil tersenyum.
“Hah? Apa itu?” tanya ibuku sambil menunjukkan ekspresi penasarannya.
“Ya, aku suka panas karena aku suka berkeringat. Kalau aku berkeringat,
maka aku akan mengusapnya dengan sesuatu yang spesial,” kataku sambil tersenyum
menunjukkan sapu tangan dari Aurelia.
Ibuku tertawa kecil, karena ia tahu hubunganku dan Aurelia sudah lama tidak
terlihat olehnya. Mungkin beliau mengetahui bahwa aku dan ia kini tidak
berpacaran lagi.
“Kamu masih dengan gadis itu ya?” tanya ibuku yang masih agak tertawa.
“Tidak, bu. Aku sudah memutuskan untuk fokus mengejar cita-citaku dahulu.
Seperti ayah,” kataku dengan nada sedih.
“Loh? Pantas saja, kok ibu sudah tidak melihat kalian bersama lagi,” tukas
ibuku sambil berpura-pura tidak tahu, Padahal aku yakin sekali ibuku sudah
tahu, tetapi entah mengapa ada sesuatu dibalik kepura-puraannya ini. Dan hal
itu akhirnya terungkap.
“Oia, selera gadis kamu seperti ayahmu, ya nak?” tanya ibuku sambil
memancarkan kelucuan yang begitu dahsyat. Tapi sepertinya tertahankan.
“Mengapa ibu? Kan aku emang anak ayah ya jelas dong kalau aku sama
sepertinya,” tanyaku kembali kepada ibuku. Dan sepertinya penasaranku tersulut
oleh pertanyaan ibuku tadi.
“Bukan hanya itu. Kamu mau tahu, nak? Aurelia persis sekali sama ibu waktu
muda dulu,” tukas ibuku sambil tersenyum. Namun tak hanya tersenyum, saat ibu
memendekan rambutnya. Memang sedikit mirip tergambar, cantiknya Aurelia dalam
wajah ibuku.
“Sungguh?” tanyaku seakan tak percaya mendengar hal itu.
“Ya, seandainya masih ada album waktu ibu muda, ibu akan menunjukkannya
kepadamu.”
Aku yang sedikit tak percaya tiba-tiba menemukan salah satu perbedaan.
“Haha... Tidak mirip kok, bu. Ada bedanya,” tukasku sambil tersenyum
menahan tawa.
“Hah? Apa itu?” tanya beliau yang rasa penasarannya berhasil kusulut
kembali.
“Bedanya Aurelia itu baik, dan agak pendiam. Tapi kalau ibu itu, terkadang
galak, dan cerewet sekali.”
Keesokan harinya, aku yang berkuliah
di salah satu universitas negeri yang tak jauh dari rumahku bersiap untuk pergi
ke kampus. Pagi-pagi sekali jam bekerku telah menjerit di telingaku, sehingga
membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Ibuku yang telah bangun lebih pagi
daripadaku juga telah menyiapkan sarapan yang sederhana di meja makan. Ada
beberapa potong roti, selai, susu, serta biskuit. Suara tabuhan lapar dari
perutku pun akhirnya membuatku menyantap roti lebih dari biasanya. Dan
selanjutnya dengan sepedaku aku pergi ke kampus.
Hari ini adalah hari yang cerah.
Begitu terang, dan sang surya telah menyinari hampir seluruh bagian Kota Budaya
ini, Yogyakarta. Fajar yang menyingsing kini perlahan hilang digantikan pagi
yang penuh dengan semangat baru.
Cahaya pagi yang jatuh dari langit menyirami sawah disekitarku. Jalanan pun
ramai dipenuhi oleh orang bersepeda pagi itu. Mereka adalah orang-orang yang
penuh dengan daya juang tinggi, dan semangat kerja yang patut diacungi jempol. Mereka
adalah petani-petani atau pedagang di pasar yang tak jauh dari tempat aku
tinggal. Dan, kebanyakan dari mereka ialah para manula yang juga berjalan pagi
atau bersepeda menuju sawah. Walau sudah tua, semangat juang dalam diri mereka
tetap membara sampai akhir hayat.
Hal itulah yang membuatku sebagai
orang muda lebih bersemangat dan berjuang. Selama tenaga yang diberikan oleh
Yang Kuasa masih berlimpah, aku berjuang demi meraih segala impian dan cita-citaku.
Kukayuh sepedaku yang lumayan baru
dengan penuh semangat. Dengan tas yang kugantung di bahu kananku. Disisi
kananku terjuntai pemandangan yang Maha Indah. Dari gunung-gunung yang hijau
jauh dilubuk mata berdiri megah, sungai yang berkelak-kelok seperti ular yang
menuruni gunung hingga sampai ke lembah. Lalu sawah yang berpetak-petak dikanan
kiriku, mengalaskan langit biru yang terang dan penuh awan putih. Udara yang
sejuk juga menenteramkan jiwa-jiwa yang merasakannya disini.
Sambil mengayuh aku menulusuri jalan pedesaan yang masih agak sepi. Hingga
akhirnya di ujung pandangku aku melihat keramaian telah menggumpal. Kudengar
suara deruman kendaraan bermotor mulai membahana saat aku mendekatinya.
Sampailah aku disebuah pertigaan jalan besar dengan jalan pedesaanku tadi.
Jalan Solo-Yogya.
Ramai sekali keadaan disini. Motor-motor berlalu cepat seperti berlomba
menuju garis finish dalam
balapan-balapan liar. Mobil dan bus antar kota juga tak mau kalah mereka saling
adu cepat di jalan besar yang menghubungkan kota Solo dan kota Yogyakarta.
Untung saja aku tak terlalu lama disitu, aku kemudian mengambil jalan-jalan
tikus yang dapat membawaku sampai di sebuah perempatan besar. Namun karena ada perbaikan
jalan di jalan tikus yang sering kulewati, aku akhirnya mengambil jalan tikus
yang kedua yang sudah lama tak pernah kulewati lagi.
Jalan itu lumayan sempit, hanya muat dua sepeda motor yang melewati jalan
tersebut. Dikanan-kiriku kulihat rumah-rumah sederhana yang tak berhalaman yang
menjadikan jalan itu layaknya sebuah lorong yang cukup panjang dan agak
berkelok. Kupikir jalan ini lebih cepat daripada jalur biasanya, karena sepi
dan tidak banyak anak-anak yang main di jalan tikus ini. Sampailah aku akhirnya
di sebuah jalan besar lagi yang kukenal, namun jarang kulewati. Dan dari situ
aku bersepeda hingga sampailah di perempatan besar dengan lampu merah yang
paling terlama di kota ini menurutku.
Ketika aku berhenti sejenak karena lampu semerah darah menyala dari lampu
merah yang berdiri tegak di depanku, seorang gadis kecil dengan wajah yang
ceria memegang biolanya yang sudah agak kotor, dan sedikit rusak. Kulihat tubuh
biola nan eloknya harus ditambal oleh beberapa lakban hitam, karena mungkin ada
yang lecet atau pecah. Sungguh ironis keadaan biola itu. Namun gadis itulah
yang tiba-tiba membuatku terkejut. Saat lampu merah itu tadi menyala, ia
bersiap dengan biolanya untuk mendatangi setiap kendaraan bermotor yang
berhenti disitu. Lumayan ada sekitar 130 detik baginya untuk menggesekan sebuah
lagu singkat. Namun kulihat gadis itu tidaklah mendatangi kendaraan melainkan
berdiri di tengah jalan, dan mulai menggesek biolanya dengan jemarinya yang
kecil.
Kudengar ia mulai menggesekan melodi demi melodi sebuah lagu dengan penuh
penghayatan dari raut wajahnya. Senyum melebar dimulutnya menandakan betapa
bahagianya ia dapat tampil di depan kami ini para pengguna jalan. Ia yang
tampil penuh penghayatan membuat kami terpaku seperti orang yang menonton
sebuah orkestra biola yang dipenuhi oleh maestro-maestro ternama. Ia-gadis
itu-menjadikan jalanan ini sebagai panggung yang megah yang dipenuhi oleh sorot
lampu bercahaya emas layaknya panggung di sebuah gedung orkes. Sungguh aku yang
terpaku disini merasa tak seperti berada di sebuah perempatan jalan.
Dari sela-sela keramaian yang tidak terlalu berisik aku mendengar
sayup-sayup nada-nada yang ia persembahkan melalui gesekan biolanya tersebut. Nada-nada
itu sangat aku kenal, dan sepertinya itu sebuah lagu anak-anak yang sering
kunyanyikan pada saat aku masih kecil. Dan aku kini tahu lagu apa yang ia
mainkan, sebuah lagu yang membuat kita semakin sayang oleh ibu kita, dan kita
semakin tahu betapa besar kasihnya kepada kita. Lagu Kasih Ibu.
Gesekan gadis kecil itu sedikit membuatku merinding, karena ia memainkan
biola itu dengan sangat mahir. Suaranya yang halus dan bersih membuatku iri,
karena aku pun tak pernah bisa memainkan Moonlight
Sonata tanpa salah sedikit pun. Pasti ada nada-nada yang terselip, dan
menjerit disela-sela aku memainkannya. Dan aku sempat berpikir apabila ayahku
ada disini, ia pasti memberikan tepuk tangan yang paling keras untuk gadis
kecil itu setelah gadis itu selesai memainkannya. Dalam hati pun aku bertanya,
darimana gadis itu mulai mengenal biola?
Setelah nada akhir ia gesekan, ia menutup lagunya dengan stacato-teknik menggesek biola dengan
hentakan. Sungguh hebat, dan baru kusadari mulutku terbuka terheran-heran. What an superb girl she is! hatiku pun
terkejut melihat hal itu.
Dari lagu yang ia mainkan tadi, ia hanya membutuh sekitar 30-40 detik saja.
Lalu masih ada hampir satu menit baginya untuk menyodorkan sebuah kantung
permen kepada kami, para pengguna jalan. Dengan senyumnya yang manis, ia tanpa
alas kaki berjalan dari mobil ke mobil, dan dari motor ke motor. Aku yang masih
merinding ia datangi terakhir kali setelah semua telah ia sodorkan. Rambutnya
yang panjang dan hitam tersipu oleh angin yang bertiup. Tangan kanannya yang
kecil menyodorkanku kantong permen yang ia bawa, sedangkan tangan satunya pun
masih memegang biolanya yang ajaib.
“Sebentar ya,” tukasku sambil tersenyum kepada gadis yang kini berdiri di
sampingku. Kulitnya yang sawo matang membuatnya cantik. Matanya yang coklat
juga melengkapi keelokan dirinya. Aku yang mencari dompetku di kantung celanaku
melihatnya sabar menunggu uang recehan dariku.
“Ini buat kamu,” kataku saat aku mengeluarkan uang sepuluh ribu dari
dompetku dan kujatuhkan dalam kantungnya. Gadis itu pun tersontak kaget melihat
aku menaruh uang sepuluh ribu ke kantungnya. Senyumnya kabur, dan berubah
menjadi penasaran.
“Loh? Benar ini ngasihnya kak?” tanyanya dengan suara yang halus, dan
manis. Karena ia tak percaya ia mencoba mengambil dan menunjukkannya kembali
uang yang kuberikan itu.
“Ya, benar dong. Masa lagu yang kamu sajikan tadi kakak hargai hanya 500
rupiah? Tidak mungkinkan?” tanyaku sambil tersenyum kepadanya. Ia pun berubah
jadi malu, dan tersenyum kepadaku.
“Ya, tapi kan? ...” katanya sambil terbata-bata mendengar pernyataan, dan
pertanyaanku tadi. Aku pun geli melihatnya.
“Haha.. Ya sudah. Kamu ambil saja ya, dik. Itu memang pantas buat lagumu
yang indah tadi,” kataku sambil melirik ke penghitung detik lampu merah yang
sudah menghitung mundur 10.
“Benar kak?” tanyanya kembali sambil tertawa kecil, dan aku hanya
mengangguk penuh senyuman. Gadis itu senang walau masih diliputi rasa tidak
percaya.
“Terima kasih kak. Sudah mau
hijau tuh. Hati-hati di jalan ya kak,” tukasnya sambil tersenyum melambaikan
tangannya yang kecil kepadaku. Ia pun di trotoar mulai terduduk dan menghitung
hasil yang ia peroleh tadi. Saat lampu kuning menyala, aku pun bertanya
kepadanya, “Siapa namamu?”
Ia yang asyik menghitung tak mendengarnya. Namun bukan karena asyik menghitung
saja, mobil yang tadinya terdiam kini menggeber suaranya dan siap jalan saat
lampu hijau menyala nanti. Dan akhirnya lampu hijau menyala, aku yang tak mau
telat pun mulai mengayuh sepedaku kembali ke kampus yang kutuju.
Sesampainya di kampus, aku memarkirkan sepedaku dan berlari menuju kelas
agar aku tidak telat. Pagi ini aku harus datang menghadiri sebuah rapat harian
organisasi yang aku ikuti disini. Namun yang membuatku lain hari ini, aku
selalu memikirkan apa yang pagi tadi barusan terjadi. Aku masih terpesona oleh
gadis kecil tadi. Ia mengamen, hanya bermodalkan sebuah biola yang sudah tak
bagus namun kualitas permainannya hampir menyamai sebuah orkestra yang megah.
“Hei, bengong saja kamu, rel!” seru sahabatku yang super bawel, Koko, saat
aku masih terbayang gadis biola tadi. Aku pun kaget namun belum mampu
mengeluarkan sepatah kata apapun kepadanya.
“Hei! Malah lanjutin bengongnya lagi ini anak. Sadar oi.. Sadar..”
“Ah, bawel banget sih. Orang lagi asik bengong juga,” gertakku yang
akhirnya tak tahan mendengar bawelnya sahabatku yang satu ini.
“Ya Allah. Malah marah-marah nih
anak. Eh, mau tahu tidak? Tuh Pak Hendra udah jalan di lorong kelas menuju
ruang kelas kita,” tukas Koko sambil menunjuk seorang bapak yang tua, yang dari
wajahnya sudah tergambar jelas galaknya bapak tersebut. Aku pun terkejut, karena
apabila aku telat masuk darinya, aku akan menerima sangsi tugas wajib darinya. Dan
itu hal yang paling menyesakkan yang pernah ada selama aku jadi mahasiswa
disini.
“Astaga! Bilang kenapa dari tadi.. Bahaya banget tuh orang sudah sampai
situ.. Ayo, buruan gih ngebut kita ke kelas,” ajakku sambil
merapikan baju, dan meninggalkan tempat duduk kami.
Beruntung aku lebih cepat tiga langkah dari dosenku yang sedang melangkah
ke kelasku. Dengan alisnya yang tebal, ia hanya menatap hampa diriku dan Koko.
Sedangkan kami yang berlari secepat mungkin menuju pintu itu tak sempat
mengucapkan sepatah salam kepadanya.
Pulangnya aku pun segera kembali ke persimpangan dimana aku menemui gadis
cilik pemain biola tadi. Aku segera melesat kesana, dan yang kutemui hanya
anak-anak berandal yang menjagai daerah situ. Aku terheran dan kaget, mengapa
kini anak berandal yang mengamen di persimpangan lampu merah situ. Padahal tadi
kan, anak pemain biola yang bermain disitu. Wah, jangan-jangan terjadi apa-apa
sama gadis itu, pikirku.
Aku pun mulai menuntun perlahan sepedaku ditengah sinar matahari yang
membakar jalanan siang itu. Ubun-ubunku mengobarkan panas yang mengucurkan
keringat banyak dari padanya. Mengalir deras melewati sela telinga, kening,
hingga ke pipi, dan terkadang bermuara di bibirku yang kering. Gerah menggelora
dalam jiwaku yang agak lelah. Letih juga menggergoti tubuhku sehingga aku
berniat untuk berteduh di suatu toko bunga yang ada di persimpangan itu.
“Mas, permisi ya. Saya mau numpang duduk disini,” mohonku kepada seseorang
yang sedang merapikan bunga-bunga di potnya. Ia pun melihatku dengan penuh
pilu, sehingga ia mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Aku
menyandarkan sepedaku di tembok di samping toko bunga itu. Lalu, aku duduk di
sebuah bangku panjang tempat seharusnya beberapa pot ditaruh diatasnya.
Setelah aku terduduk pun, aku masih mengamati persimpangan tadi. Aku
sekali-sekali membayangkan kejadian tadi pagi. Aku mengimajinasikan aku yang
masih menunggu lampu merah menyala di sepeda. Lalu tampak kembali, anak gadis
yang bermain biola tadi di tengah jalan. Dengan gesture, dan mimiknya ia mampu
menghanyutkanku dalam lagu yang ia persembahkan. Kebayang jelas suara gesekan
melodi yang ia mainkan pada saat itu. Nada-nadanya halus, dengan teknik yang
seharusnya tak seorang pun tahu apabila ia tidak latihan khusus dari yang
mengerti.
Tanpa sadar aku telah melamun, dan kurang lebih lima belas menit lamanya
mataku tertuju pada lampu merah tempat aku menunggu dan bertemu seorang anak
gadis tadi. Tiba-tiba seseorang menyadarkanku dengan mengecup bahuku dengan
jemarinya. Lalu membuat semua imajinasi tadi terbang entah kemana.
“Kak, Kak!” seru suara gadis kecil yang halus kearah telingaku. Ia duduk di
sampingku, dengan sebuah tas khusus yang kukenal sekali.
Aku pun yang tersadar sedikit terlonjak dan mulai menengok ke arah gadis
itu. Senyumannya yang tersirat dari mimik yang manis membuatku mengenalnya. Dan
tasnya yang khusus itu tas yang sangat akrab kubawa juga. Tas Biola.
“Hah? Kaget kakak nih. Kamu gadis
yang tadi pagi bukan?” tanyaku kepadanya sambil membenarkan dudukku.
“Ya, kak. Kakak yang tadi pagi memberiku uang banyak bukan?” tanyanya
dengan suara halus, dan aku hanya mengangguk, “ Wah, aku kira salah tadi. Aku
tadi ragu-ragu saat mau menyapa kakak.” Aku hanya tertawa kecil.
“Oia, kakak sedang apa?” tanyanya sambil menyandarkan tas biolanya ke
tembok yang ada dibelakang kami.
Aku pun bingung ingin menjawab apa. Tak berani aku mengatakan bahwa aku
ingin bertemu dengannya. Tak ada jawaban dariku sampai gadis itu bertanya lagi.
“Mau beli bunga ya?” tanyanya halus sambil menengok ke arah deretan pot
yang berisi bunga-bunga indah, dan bunga-bunga hiasan yang berjajar di dalam
toko. Aku pun mendapat ide.
“Haha, ya ini sedang ingin beli bunga. Tapi bingung mau yang mana?”
“Boleh aku sarankan pendapatku?”
“Wah boleh.. Kira-kira yang mana ya yang bagus?” tanyaku sambil melihatnya
menatapi bunga-bunga yang ada disamping kami.
“Bougenvile aja kak? Dia indah,
dan begitu menawan, Namun penuh kelembutan. Sedangkan Rose indah berwarna merah darah namun penuh duri, bisa-bisa hanya
melukai orang yang kakak beri saja,” tukasnya halus sambil menunjuk ke arah
bunga yang menebarkan warna ungu yang muda, dengan harum yang semerbak.
“Wah boleh juga. Bagus juga pilihan kamu,” tukasku, tapi aku penasaran
mengapa ia tahu yang bagus yang itu, dan sampai tahu namanya segala, “oia,
ngomong-ngomong kamu tahu banyak ya?”
“Ya, kak. Aku tahu banyak soal bunga, sebab ibuku dulu penjual bunga di
daerah sana,” katanya sambil mengangguk tapi kurasakan aura kesedihan mulai
menerpa jiwaku, “Namun semenjak ibu sakit keras, ia harus menutup usahanya, dan
ayah yang sudah lama tak ada. Jadi, aku pun berhenti sekolah. Kini, aku hanya
dapat mengamen seperti halnya tadi yang kakak lihat.”
“O.. Begitu ya.. Lalu, kamu mengamennya pagi-pagi saja?” tanyaku mengingat
kini anak berandal telah menguasai daerah gadis kecil tadi mengamen.
“Ya, kak. Aku mengamen hanya pagi dari jam 5 sampai jam 7 saja. Setelah itu
aku pergi ke sekolah untuk melihat teman-temanku belajar disana. Mereka sangat
beruntung bisa memakai baju merah putih. Namun aku masih beruntung juga, sebab
aku masih bisa belajar melalui jendela-jendela kelas mereka. Aku membawa buku
satu untuk mencatat segala yang mereka pelajari. Lumayankan, aku bisa bersekolah
tanpa harus membayar uang sekolah yang katanya gratis, nyatanya sampai sekarang
sekolah saja tetap mahal bagi orang sepertiku. Lalu dari sekolah aku harus
pergi ke sebuah ke rumah untuk kembali menemani ibu. Ibu perlu perawatan
khusus, terutama dariku. Lalu sekarang aku kembali kesini, karena nanti sore
aku harus kembali mengamen disitu,” katanya sambil menunjuk persimpangan lampu
merah tempat aku melihatnya memainkan biola tadi pagi.
“Wah, hebatnya kamu. Kamu pantang menyerah dalam mengejar ilmu ya,” pujiku
kepada gadis kecil itu. Aku dan dia bercakap-cakap lama sekali. Asyik memang,
namun ternyata yang kudapat darinya ternyata gadis sekecil dia harus menanggung
kesedihan dan penderitaan yang besar dalam awal hidupnya. Tetapi walaupun
begitu, gadis yang kutanyai namanya, Laskar, ini mampu menunjukkan bahwa tak
ada kata menyerah untuk sebuah perjuangan hidup. Hingga sampai akhirnya gadis
ini mampu membangunkanku dari tidurnya wawasanku tentang anak jalanan.
Sekaligus menamparku dengan sebuah pelajaran hidup untuk jangan menyerah selama
hidupku.
Tak terasa obrolan panjang yang seakan tak ada habisnya pun membawaku tidak
sadar akan waktu. Hari yang telah menjelang sore. Zamrud oranye sudah membakar
langit yang biru, dan membayangi jalanan di persimpangan itu. Hal itu membuat
Laskar sadar akan tugasnya mengamen lagi di persimpangan jalan itu.
“Kak, sudah menjelang sore nih.
Aku harus kesana mengamen lagi,” tukasnya sambil bangun dan menunjuk
persimpangan jalan tempat aku bertemu dengannya tadi pagi.
“Oia? Wah, sudah sore ya? Kakak juga baru sadar nih. Ya sudah, kesana gih
buruan,” kataku sambil melihat jam tanganku yang berwarna hitam kelam. Aku yang
memegang seikat bunga Bougenvile -yang
kubeli tadi- kini melihatnya berdiri dan menggendong tas biolanya yang tampak
kusam.
“Ya sudah ya kak. Aku kesana ya,” tukasnya sambil tersenyum dan hendak
melangkah ke tempat dimana anak berandal lainnya sudah tidak ada di tempat itu
lagi.
“Laskar tunggu!” seruku bangun dari dudukku saat gadis kecil itu melangkah
cepat ke arah persimpangan, namun untungnya belum menyebrang jalan.
“Ya, ada apa kak?” katanya sambil berjalan pelan mendekatiku kembali,
akupun menghampirinya dengan langkah yang lambat.
“Oia, senang bisa berbagi cerita denganmu Laskar. Ini sebagai tanda
perkenalan kita bunga ini buat kamu, bagaimana? Siapa tahu mamamu akan sembuh
setelah memiliki bunga kesayangannya lagi,” tukasku sambil menyodorkan seikat Bougenvile yang ada di genggaman
tanganku.
“Wah beneran nih kak?” tanyanya
tidak percaya. Raut tak percayanya mirip sekali dengan raut wajahnya saat ia
menerima uang sepuluh ribuku. Dan kulihat senyumnya sudah mulai tumbuh dari
bibirnya yang merah dan kecil.
“Ya, beneran dong. Sebenarnya tadi kakak tidak mau membelikan kamu.”
“Loh, pacar kakak?” tanyanya sambil menjebakku.
“Pacar kakak tomboi kok. Kalau sama bunga tidak terlalu suka dia. Dia mah
sukanya olahraga,” bohongku tentang Aurel kepadanya. Aurel tidak suka bunga?
Tidak mungkin itu terjadi.
“Wah, serius kak?” tanyanya sekali lagi untuk meyakinkannya benar.
“Ya, ini ambillah.”
Ia pun menerimanya, dan tersenyum senang. Aku pun membalasnya dengan
senyum.
“Terima kasih kakak.”
“Ya sama-sama Laskar,” kataku. Ia pun mengucapkan selamat tinggal padaku,
saat aku hendak pulang. Lalu aku melihatnya berlari menyebrang jalan, dan saat
di pembatas jalan, ia melambaikan tangan kepadaku. Dan aku pun membalasnya.
Laskar pun bersiap menyebrang jalan sisi satunya lagi. Dan aku pun berbalik,
dan hendak menuju sepedaku yang masih tersandarkan di dekat Toko Bunga tadi.
Namun, saat melangkah aku merasakan ada keanehan menyelimuti kepalaku. Perlahan
keanehan itu mulai menggerogoti pikiran dan jiwaku. Sampai membekukan hatiku
dengan perasaan buruk. Dan benar perasaan buruk itu pun tiba.
Tiba-tiba saja sebuah ledakan yang amat dashyat kudengar dari belakangku.
Suara itu merayap di udara dan menelusuri seluruh penjuru persimpangan jalan.
Aku yang kaget sekali berlutut karena hantamannya masih terasa dibelakangku.
Asap pun lalu menjalar di seluruh jalan membuat getaran di jalan yang amat
kencang. Sepintas aku memejamkan mata. Kudengar alarm bunyi yang diparkir di
dekat situ merongrong di telingaku. Jeritan demi jeritan menyusul tak mau kalah
rasanya dengan bunyi alarm yang keras. Dalam asap yang lumayan tebal, mataku
kubuka. Dan tak dapat kulihat jelas apa yang terjadi di sekitarku. Yang kulihat
hanya asap yang mengaburkan segala pandangan di sekitarku. Kuberusaha
mengibaskan asap-asap itu, namun masih belum berhasil. Kudengar juga suara
teriakan orang-orang, dan ada juga jeritan-jeritan, serta isak tangis yang
begitu hebat. Dan persimpangan yang tadinya tenang menjadi kacau balau.
Aku menoleh ke belakang, dan melihat persimpangan itu. Tampak beberapa
orang terjatuh di jalanan persimpangan. Kebanyakan dari mereka adalah
pengendara sepeda motor, yang terkena hantaman ledakan tadi. Aku tak tahu,
apakah mereka masih hidup atau sudah tewas. Selain itu para pengendara mobil
keluar, dan berhamburan keluar. Diikuti jeritan-jeritan ketakutan yang keluar
dari mulut mereka.
Beberapa detik kemudian asap mulai menipis, aku mulai melihat beberapa
orang yang tergeletak bangun, dan berlarian menjauhi persimpangan tadi.
Persimpangan? Aku nyaris lupa dengan persimpangan itu. Persimpangan dimana aku
bertemu seorang gadis yang bermain biola sangat indah walau dia masih sangat
kecil. Gadis biola? Laskar? Aku baru ingat bahwa Laskar tadi meninggalkanku ke
persimpangan. Dan suara ledakan dashyat itu pun berasal dari sana. Astagaa!
Teriakku dalam hatiku sehingga membuatku panik seketika.
Rasa panik, dan ketakutan tergambar di wajahku. Aku bodoh sekali, baru
menyadari bahwa Laskar sedang menuju tempat yang sekarang malah jadi sumber
ledakan itu. Bodoh sekali aku, karena aku juga baru sadar akan Laskar setelah
60 detik ledakan itu kudengar. Bodoh, bodoh, bodoh, sesalku berulang dalam hati
sambil berlari menyebrang jalan menuju tempat Laskar berada.
Dilanda oleh panik yang menggelora dalam tubuhku, aku berdoa dalam hati
semoga Laskar tidak apa-apa. Aku mencari dan terus mencari apakah Laskar
baik-baik saja. Namun dalam pencarianku itu, kulihat banyak orang tak sadarkan
diri tergeletak di jalanan, dan di trotoar sekitar persimpangan itu. Tak
kutemukan gadis kecil, yang menggendong tas biolanya tergeletak dimana pun. Aku
mulai sangat khawatir. Hingga kekhawatiranku terjawab saat seseorang mencolekku
dibelakang. Dan aku yakin sekali, colekan yang rendah itu berasal dari gadis
kecil itu, Laskar.
Tetapi saat kumenoleh ke belakang, aku tak melihat seorang gadis dengan tas
biolanya, Melainkan seorang perempuan muda yang kesakitan dengan kaki yang tak
bisa berjalan. Wajahnya yang sedikit penuh darah membuatku kasihan melihatnya.
“Toloooongg,” rintihnya sambil mengais-ais celana jeans-ku. Matanya yang memancarkan penderitaan begitu hebat
melemahkan hatiku yang tadinya beku oleh kepanikan dan kekhawatiran. Aku pun
menolongnya, dengan menggendongnya, dan membawanya menjauhi tempat itu.
Setelah aku menaruh perempuan tadi di tempat yang banyak orang berkumpul,
aku mencari lagi gadis biola itu. Dalam asap yang mulai tak terlihat lagi, aku
mencari dan mencari diantara banyak manusia yang tak sadarkan diri di jalan
persimpangan itu. Sampai aku menemukan sebuah tas biola yang sangat kukenal,
dengan gadis yang terbujur kaku agak jauh dari situ. Aku pun mulai sedih
melihat gadis malang itu. Rasanya ingin sekali kuteteskan air mata
sebanyak-banyaknya saat itu. Mataku mulai pedih, dan cucuran-cucuran air mata
mulai membasahi pipiku saat ku berjalan lemas menuju gadis yang tertidur lemas
di dinding salah satu toko di dekat persimpangan itu. Dan saat kulihat gadis
itu, benar dialah Laskar. Dengan tubuh, yang penuh luka goresan kaca, dan
pecahan kaca disekitar tubuhnya, ia terbujur kaku menggenggam seikat bunga.
Bunga Bougenvile.
***
Pertemuan oleh seorang sahabat layaknya sebuah komet yang melintasi bumi.
Ia hanya sesaat ataupun sekejap mata, dan mungkin lama sekali untuk menunggunya
terulang lagi. Namun, sangat indah saat dirasakan, dan tak terlupakan saat kita
mengenangnya,
-by Aloysius Damar Pranadi-
***
Bertahun-tahun kemudian, aku yang sudah menjadi seorang pelatih biola
mandiri, dan memiliki tempat pembelajaran sendiri sedang melihat konsep
orkestra hasil karyaku sendiri. Aku menyewa sebuah gedung pertemuan mewah, di
suatu tempat di kota Jakarta. Aku yang sudah tinggal di Jakarta kini, telah
sukses memperkenalkan biola.
Acara orkes yang sederhana telah kukonsep sangat apik. Dan hingga pada
akhir acara, aku mempersembahkan sebuah acara puncak, yang mungkin akan membuat
penonton sangat terpukau.
Saat pembawa acara, membuka acara puncak. Seorang gadis cantik berparas
elok pun maju, dengan dibantu oleh seorang asisten untuk berjalan menaiki
panggung yang kudirikan di hadapan lebih dari setengah ribu penonton. Dengan
gaun yang indah yang melekat ditubuhnya, ia sangat cantik dan rupawan. Ribuan
mata kini telah memandang seorang gadis yang jalan dengan susah payah melangkah
menaiki dibantu seorang asisten untuk menampilkan sesuatu yang amat jarang.
Akhirnya keanehan berjalannya, yang terpogoh-pogoh, membuat penonton yang
melihatnya mulai saling berbisik, karena mereka mulai menyadari bahwa gadis itu
seorang tuna netra.
Setelah ia berdiri di depan sebuah kursi yang telah ditaruh diatas panggung
itu. Ia menunduk, dan memberi hormat kepada seluruh penonton yang menatapnya.
Penonton pun membalas hormat kepada gadis itu dengan tepuk tangan yang meriah
di seluruh penjuru ruang besar itu. Setelah tenang kembali, gadis itu pun
akhirnya terduduk tegak sambil menggenggam sebuah biola yang ia bawa daritadi.
Kecupan-kecupan manis jari tangan kirinya berpadu mulai gesekan lembut
tongkat biola yang ia ayunkan oleh tangan kanannya. Melodi demi melodi indah
pun mengalir dari lubang pada tubuh biola ke seluruh atmosfer ruang tersebut.
Halus, dan penuh harmonisasi nada membawa para penonton hanyut pada kolaborasi
nada yang ia mainkan. Mimik wajahnya yang penuh dengan penghayatan memampukan
penonton merasuki lagu yang ia persembahkan itu. Sedu dan sedan mengalir, dan
tergambar jelas dari setiap melodi Moonlight
Sonata yang ia mainkan.
Lagu yang sangat kusukai itu sangat berhasil dibawakan oleh gadis cantik
berparas elok itu, dengan keterbatasannya. Gadis yang dahulu, hanyalah seorang
gadis pengamen di jalanan. Gadis yang dahulu kutemui di sebuah persimpangan
jalan, yang pernah ada bom meledak disana. Gadis yang tidak mampu melihat
indahnya warna lagi oleh karena bom. Namun gadis itu masih mampu melihat
indahnya nada, melodi, dan gesekan biola yang mampu menyihir ribuan mata
terpaku kepadanya. Ya, dialah Laskar. Seorang gadis kecil yang dahulu kutemui
di sebuah persimpangan jalan. Yang buta oleh karena teror bom beberapa tahun
lalu. Kini mampu membuatku dan ratusan orang terinspirasi olehnya. Karena
melalui dirinya, ia menunjukkan bahwa keterbatasan itu bukan akhir dari
segalanya. Melainkan awal dari sesuatu yang hebat.
This
story is originally presented by
Aloysius
Damar Pranadi