Sabtu, 23 Juni 2012

Arrpegio Harmonic


Dawai sebuah biola bergetar dengan penuh kecupan dari jemari manisku. Menggelorakan sebuah keindahan suara yang harmonis. Ruangan hening tempatku membisu dalam bawah sadarnya demi mendengarkan alunan melodi yang keluar dari biola tuaku. Simponi sedu sedan nampak dari Moonlight Sonata yang bergema di seluruh penjuru ruangan tempat aku sendirian. Suasana yang hampir mendekati hampa menghanyutkanku dalam setiap aroma nada lagu klasik kesukaanku tersebut.
Saat memainkan partitur akhir, keringat di keningku mengalir deras membasahi wajahku yang terpantul cahaya lampu. Mataku yang tertutup pun mulai risih oleh keringat yang berada di selaput mataku. Ingin kuusap rasanya, namun mungkin nanti setelah Moonlight Sonata habis kumainkan. Namun kurasakan, tak hanya keningku yang membanjiri wajahku. Dada dan tubuh belakangku mengalirkan setetes demi setetes keringat dari seluruh pori-pori kulitku. Memang semua itu dikarenakan ruangan itu tak ada kipas atau pendingin ruangan, hanya selubang kecil ventilasi yang membiarkan sang angin menghembuskan kesegarannya.
“Hah, selesai juga akhirnya,” kataku sambil menurunkan biolaku yang elok dari jepitan dagu dan bahuku. Tubuh biola yang semampai  kupegang dengan segala kehalusan kayunya kurasakan di kulit telapak tanganku.
Kumasukkan biolaku yang kini sudah tua namun tetap dalam keadaan baik kedalam tas biola yang kusandarkan di tembok yang berada didekatku. Pelan-pelan kutaruh biola penuh kebesaran itu kedalam wadahnya yang juga masih bersih dan bagus. Penuh kebesaran artinya melalui biola inilah almarhum ayahku menjadi seorang maestro musik klasik yang diakui di negeri ini. Banyak sekali mahakarya-mahakarya yang keluar dari gesekan biola yang dimainkan oleh jiwa mendiang ayahku sebagai seorang maestro sekaligus longman-seorang pencinta musik klasik.
Saat aku mengendurkan bow-tongkat penggesek biola, terbukalah pintu ruangan itu. Gesekan kayu dan lantai yang mencicit menandakan bahwa kayu pintu tersebut sudah cukup tua. Kemudian dari siluet-siluet yang tampak, tergambarlah seorang perempuan masuk ke ruanganku. Dan akhirnya, muncul sosok yang amat aku sayang dengan kecantikannya yang sungguh menawan.
“Sudah, kamu latihannya, Beethoven kecilku?” tanya ibuku dengan menggunakan panggilan ayah kepadaku yang masih nampak muda belia. Ia pun tersenyum manis dan mendekatiku dengan aura kasih sayangnya yang hangat terasa.
“Ya, baru saja selesai kok, bu,” senyumku kepadanya sambil mengusap kening dan wajahku dengan sapu tangan, hadiah ulangtahunku tahun lalu dari mantan pacarku, Aurelia.
“Wah, panas ya? Kamu sih selalu tidak mau pakai pendingin ruangan atau kipas disini,” tukas ibuku sambil meniupiku dengan angin yang keluar dari bibirnya yang halus.
“Tidak juga kok, bu. Lagian kalau panas itu penghayatannya lebih mendalam, dan mampu menghasilkan suara yang lebih indah. Soalnya kan,” kataku terpotong oleh ibuku yang melanjutkannya.
“Ya, soalnya kan biola itu kalau dalam udara yang dingin bisa sumbang kan?” sanggah ibuku seperti itu. Aku pun tertawa kecil dan mengangguk. Ibuku pun melanjutkannya, “Kau sama seperti ayahmu saja.”
“Terus tidak hanya itu saja bu,” kataku sehingga menarik keluar penasaran dalam ibuku.
“Oia? Apa lagi? Gaya atau kata-kata ayahmu lagi ya?” terkanya sambil menyenggolku.
“Haha.. Mungkin, tapi tidak tahu juga sih aku. Sepertinya ini gayaku,” jawabku sambil tersenyum.
“Hah? Apa itu?” tanya ibuku sambil menunjukkan ekspresi penasarannya.
“Ya, aku suka panas karena aku suka berkeringat. Kalau aku berkeringat, maka aku akan mengusapnya dengan sesuatu yang spesial,” kataku sambil tersenyum menunjukkan sapu tangan dari Aurelia.
Ibuku tertawa kecil, karena ia tahu hubunganku dan Aurelia sudah lama tidak terlihat olehnya. Mungkin beliau mengetahui bahwa aku dan ia kini tidak berpacaran lagi.
“Kamu masih dengan gadis itu ya?” tanya ibuku yang masih agak tertawa.
“Tidak, bu. Aku sudah memutuskan untuk fokus mengejar cita-citaku dahulu. Seperti ayah,” kataku dengan nada sedih.
“Loh? Pantas saja, kok ibu sudah tidak melihat kalian bersama lagi,” tukas ibuku sambil berpura-pura tidak tahu, Padahal aku yakin sekali ibuku sudah tahu, tetapi entah mengapa ada sesuatu dibalik kepura-puraannya ini. Dan hal itu akhirnya terungkap.
“Oia, selera gadis kamu seperti ayahmu, ya nak?” tanya ibuku sambil memancarkan kelucuan yang begitu dahsyat. Tapi sepertinya tertahankan.
“Mengapa ibu? Kan aku emang anak ayah ya jelas dong kalau aku sama sepertinya,” tanyaku kembali kepada ibuku. Dan sepertinya penasaranku tersulut oleh pertanyaan ibuku tadi.
“Bukan hanya itu. Kamu mau tahu, nak? Aurelia persis sekali sama ibu waktu muda dulu,” tukas ibuku sambil tersenyum. Namun tak hanya tersenyum, saat ibu memendekan rambutnya. Memang sedikit mirip tergambar, cantiknya Aurelia dalam wajah ibuku.
“Sungguh?” tanyaku seakan tak percaya mendengar hal itu.
“Ya, seandainya masih ada album waktu ibu muda, ibu akan menunjukkannya kepadamu.”
Aku yang sedikit tak percaya tiba-tiba menemukan salah satu perbedaan.
“Haha... Tidak mirip kok, bu. Ada bedanya,” tukasku sambil tersenyum menahan tawa.
“Hah? Apa itu?” tanya beliau yang rasa penasarannya berhasil kusulut kembali.
“Bedanya Aurelia itu baik, dan agak pendiam. Tapi kalau ibu itu, terkadang galak, dan cerewet sekali.”

            Keesokan harinya, aku yang berkuliah di salah satu universitas negeri yang tak jauh dari rumahku bersiap untuk pergi ke kampus. Pagi-pagi sekali jam bekerku telah menjerit di telingaku, sehingga membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Ibuku yang telah bangun lebih pagi daripadaku juga telah menyiapkan sarapan yang sederhana di meja makan. Ada beberapa potong roti, selai, susu, serta biskuit. Suara tabuhan lapar dari perutku pun akhirnya membuatku menyantap roti lebih dari biasanya. Dan selanjutnya dengan sepedaku aku pergi ke kampus.
            Hari ini adalah hari yang cerah. Begitu terang, dan sang surya telah menyinari hampir seluruh bagian Kota Budaya ini, Yogyakarta. Fajar yang menyingsing kini perlahan hilang digantikan pagi yang penuh dengan semangat baru.
Cahaya pagi yang jatuh dari langit menyirami sawah disekitarku. Jalanan pun ramai dipenuhi oleh orang bersepeda pagi itu. Mereka adalah orang-orang yang penuh dengan daya juang tinggi, dan semangat kerja yang patut diacungi jempol. Mereka adalah petani-petani atau pedagang di pasar yang tak jauh dari tempat aku tinggal. Dan, kebanyakan dari mereka ialah para manula yang juga berjalan pagi atau bersepeda menuju sawah. Walau sudah tua, semangat juang dalam diri mereka tetap membara sampai akhir hayat.
            Hal itulah yang membuatku sebagai orang muda lebih bersemangat dan berjuang. Selama tenaga yang diberikan oleh Yang Kuasa masih berlimpah, aku berjuang demi meraih segala impian dan cita-citaku.
            Kukayuh sepedaku yang lumayan baru dengan penuh semangat. Dengan tas yang kugantung di bahu kananku. Disisi kananku terjuntai pemandangan yang Maha Indah. Dari gunung-gunung yang hijau jauh dilubuk mata berdiri megah, sungai yang berkelak-kelok seperti ular yang menuruni gunung hingga sampai ke lembah. Lalu sawah yang berpetak-petak dikanan kiriku, mengalaskan langit biru yang terang dan penuh awan putih. Udara yang sejuk juga menenteramkan jiwa-jiwa yang merasakannya disini.
Sambil mengayuh aku menulusuri jalan pedesaan yang masih agak sepi. Hingga akhirnya di ujung pandangku aku melihat keramaian telah menggumpal. Kudengar suara deruman kendaraan bermotor mulai membahana saat aku mendekatinya. Sampailah aku disebuah pertigaan jalan besar dengan jalan pedesaanku tadi. Jalan Solo-Yogya.
Ramai sekali keadaan disini. Motor-motor berlalu cepat seperti berlomba menuju garis finish dalam balapan-balapan liar. Mobil dan bus antar kota juga tak mau kalah mereka saling adu cepat di jalan besar yang menghubungkan kota Solo dan kota Yogyakarta. Untung saja aku tak terlalu lama disitu, aku kemudian mengambil jalan-jalan tikus yang dapat membawaku sampai di sebuah perempatan besar. Namun karena ada perbaikan jalan di jalan tikus yang sering kulewati, aku akhirnya mengambil jalan tikus yang kedua yang sudah lama tak pernah kulewati lagi.
Jalan itu lumayan sempit, hanya muat dua sepeda motor yang melewati jalan tersebut. Dikanan-kiriku kulihat rumah-rumah sederhana yang tak berhalaman yang menjadikan jalan itu layaknya sebuah lorong yang cukup panjang dan agak berkelok. Kupikir jalan ini lebih cepat daripada jalur biasanya, karena sepi dan tidak banyak anak-anak yang main di jalan tikus ini. Sampailah aku akhirnya di sebuah jalan besar lagi yang kukenal, namun jarang kulewati. Dan dari situ aku bersepeda hingga sampailah di perempatan besar dengan lampu merah yang paling terlama di kota ini menurutku.
Ketika aku berhenti sejenak karena lampu semerah darah menyala dari lampu merah yang berdiri tegak di depanku, seorang gadis kecil dengan wajah yang ceria memegang biolanya yang sudah agak kotor, dan sedikit rusak. Kulihat tubuh biola nan eloknya harus ditambal oleh beberapa lakban hitam, karena mungkin ada yang lecet atau pecah. Sungguh ironis keadaan biola itu. Namun gadis itulah yang tiba-tiba membuatku terkejut. Saat lampu merah itu tadi menyala, ia bersiap dengan biolanya untuk mendatangi setiap kendaraan bermotor yang berhenti disitu. Lumayan ada sekitar 130 detik baginya untuk menggesekan sebuah lagu singkat. Namun kulihat gadis itu tidaklah mendatangi kendaraan melainkan berdiri di tengah jalan, dan mulai menggesek biolanya dengan jemarinya yang kecil.
Kudengar ia mulai menggesekan melodi demi melodi sebuah lagu dengan penuh penghayatan dari raut wajahnya. Senyum melebar dimulutnya menandakan betapa bahagianya ia dapat tampil di depan kami ini para pengguna jalan. Ia yang tampil penuh penghayatan membuat kami terpaku seperti orang yang menonton sebuah orkestra biola yang dipenuhi oleh maestro-maestro ternama. Ia-gadis itu-menjadikan jalanan ini sebagai panggung yang megah yang dipenuhi oleh sorot lampu bercahaya emas layaknya panggung di sebuah gedung orkes. Sungguh aku yang terpaku disini merasa tak seperti berada di sebuah perempatan jalan.
Dari sela-sela keramaian yang tidak terlalu berisik aku mendengar sayup-sayup nada-nada yang ia persembahkan melalui gesekan biolanya tersebut. Nada-nada itu sangat aku kenal, dan sepertinya itu sebuah lagu anak-anak yang sering kunyanyikan pada saat aku masih kecil. Dan aku kini tahu lagu apa yang ia mainkan, sebuah lagu yang membuat kita semakin sayang oleh ibu kita, dan kita semakin tahu betapa besar kasihnya kepada kita. Lagu Kasih Ibu.
Gesekan gadis kecil itu sedikit membuatku merinding, karena ia memainkan biola itu dengan sangat mahir. Suaranya yang halus dan bersih membuatku iri, karena aku pun tak pernah bisa memainkan Moonlight Sonata tanpa salah sedikit pun. Pasti ada nada-nada yang terselip, dan menjerit disela-sela aku memainkannya. Dan aku sempat berpikir apabila ayahku ada disini, ia pasti memberikan tepuk tangan yang paling keras untuk gadis kecil itu setelah gadis itu selesai memainkannya. Dalam hati pun aku bertanya, darimana gadis itu mulai mengenal biola?
Setelah nada akhir ia gesekan, ia menutup lagunya dengan stacato-teknik menggesek biola dengan hentakan. Sungguh hebat, dan baru kusadari mulutku terbuka terheran-heran. What an superb girl she is! hatiku pun terkejut melihat hal itu.
Dari lagu yang ia mainkan tadi, ia hanya membutuh sekitar 30-40 detik saja. Lalu masih ada hampir satu menit baginya untuk menyodorkan sebuah kantung permen kepada kami, para pengguna jalan. Dengan senyumnya yang manis, ia tanpa alas kaki berjalan dari mobil ke mobil, dan dari motor ke motor. Aku yang masih merinding ia datangi terakhir kali setelah semua telah ia sodorkan. Rambutnya yang panjang dan hitam tersipu oleh angin yang bertiup. Tangan kanannya yang kecil menyodorkanku kantong permen yang ia bawa, sedangkan tangan satunya pun masih memegang biolanya yang ajaib.
“Sebentar ya,” tukasku sambil tersenyum kepada gadis yang kini berdiri di sampingku. Kulitnya yang sawo matang membuatnya cantik. Matanya yang coklat juga melengkapi keelokan dirinya. Aku yang mencari dompetku di kantung celanaku melihatnya sabar menunggu uang recehan dariku.
“Ini buat kamu,” kataku saat aku mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dompetku dan kujatuhkan dalam kantungnya. Gadis itu pun tersontak kaget melihat aku menaruh uang sepuluh ribu ke kantungnya. Senyumnya kabur, dan berubah menjadi penasaran.
“Loh? Benar ini ngasihnya kak?” tanyanya dengan suara yang halus, dan manis. Karena ia tak percaya ia mencoba mengambil dan menunjukkannya kembali uang yang kuberikan itu.
“Ya, benar dong. Masa lagu yang kamu sajikan tadi kakak hargai hanya 500 rupiah? Tidak mungkinkan?” tanyaku sambil tersenyum kepadanya. Ia pun berubah jadi malu, dan tersenyum kepadaku.
“Ya, tapi kan? ...” katanya sambil terbata-bata mendengar pernyataan, dan pertanyaanku tadi. Aku pun geli melihatnya.
“Haha.. Ya sudah. Kamu ambil saja ya, dik. Itu memang pantas buat lagumu yang indah tadi,” kataku sambil melirik ke penghitung detik lampu merah yang sudah menghitung mundur 10.
“Benar kak?” tanyanya kembali sambil tertawa kecil, dan aku hanya mengangguk penuh senyuman. Gadis itu senang walau masih diliputi rasa tidak percaya.
            “Terima kasih kak. Sudah mau hijau tuh. Hati-hati di jalan ya kak,” tukasnya sambil tersenyum melambaikan tangannya yang kecil kepadaku. Ia pun di trotoar mulai terduduk dan menghitung hasil yang ia peroleh tadi. Saat lampu kuning menyala, aku pun bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”
Ia yang asyik menghitung tak mendengarnya. Namun bukan karena asyik menghitung saja, mobil yang tadinya terdiam kini menggeber suaranya dan siap jalan saat lampu hijau menyala nanti. Dan akhirnya lampu hijau menyala, aku yang tak mau telat pun mulai mengayuh sepedaku kembali ke kampus yang kutuju.
Sesampainya di kampus, aku memarkirkan sepedaku dan berlari menuju kelas agar aku tidak telat. Pagi ini aku harus datang menghadiri sebuah rapat harian organisasi yang aku ikuti disini. Namun yang membuatku lain hari ini, aku selalu memikirkan apa yang pagi tadi barusan terjadi. Aku masih terpesona oleh gadis kecil tadi. Ia mengamen, hanya bermodalkan sebuah biola yang sudah tak bagus namun kualitas permainannya hampir menyamai sebuah orkestra yang megah.
“Hei, bengong saja kamu, rel!” seru sahabatku yang super bawel, Koko, saat aku masih terbayang gadis biola tadi. Aku pun kaget namun belum mampu mengeluarkan sepatah kata apapun kepadanya.
“Hei! Malah lanjutin bengongnya lagi ini anak. Sadar oi.. Sadar..”
“Ah, bawel banget sih. Orang lagi asik bengong juga,” gertakku yang akhirnya tak tahan mendengar bawelnya sahabatku yang satu ini.
“Ya Allah. Malah marah-marah nih anak. Eh, mau tahu tidak? Tuh Pak Hendra udah jalan di lorong kelas menuju ruang kelas kita,” tukas Koko sambil menunjuk seorang bapak yang tua, yang dari wajahnya sudah tergambar jelas galaknya bapak tersebut. Aku pun terkejut, karena apabila aku telat masuk darinya, aku akan menerima sangsi tugas wajib darinya. Dan itu hal yang paling menyesakkan yang pernah ada selama aku jadi mahasiswa disini.
“Astaga! Bilang kenapa dari tadi.. Bahaya banget tuh orang sudah sampai situ.. Ayo, buruan gih ngebut kita ke kelas,” ajakku sambil merapikan baju, dan meninggalkan tempat duduk kami.
Beruntung aku lebih cepat tiga langkah dari dosenku yang sedang melangkah ke kelasku. Dengan alisnya yang tebal, ia hanya menatap hampa diriku dan Koko. Sedangkan kami yang berlari secepat mungkin menuju pintu itu tak sempat mengucapkan sepatah salam kepadanya.
Pulangnya aku pun segera kembali ke persimpangan dimana aku menemui gadis cilik pemain biola tadi. Aku segera melesat kesana, dan yang kutemui hanya anak-anak berandal yang menjagai daerah situ. Aku terheran dan kaget, mengapa kini anak berandal yang mengamen di persimpangan lampu merah situ. Padahal tadi kan, anak pemain biola yang bermain disitu. Wah, jangan-jangan terjadi apa-apa sama gadis itu, pikirku.
Aku pun mulai menuntun perlahan sepedaku ditengah sinar matahari yang membakar jalanan siang itu. Ubun-ubunku mengobarkan panas yang mengucurkan keringat banyak dari padanya. Mengalir deras melewati sela telinga, kening, hingga ke pipi, dan terkadang bermuara di bibirku yang kering. Gerah menggelora dalam jiwaku yang agak lelah. Letih juga menggergoti tubuhku sehingga aku berniat untuk berteduh di suatu toko bunga yang ada di persimpangan itu.
“Mas, permisi ya. Saya mau numpang duduk disini,” mohonku kepada seseorang yang sedang merapikan bunga-bunga di potnya. Ia pun melihatku dengan penuh pilu, sehingga ia mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Aku menyandarkan sepedaku di tembok di samping toko bunga itu. Lalu, aku duduk di sebuah bangku panjang tempat seharusnya beberapa pot ditaruh diatasnya.
Setelah aku terduduk pun, aku masih mengamati persimpangan tadi. Aku sekali-sekali membayangkan kejadian tadi pagi. Aku mengimajinasikan aku yang masih menunggu lampu merah menyala di sepeda. Lalu tampak kembali, anak gadis yang bermain biola tadi di tengah jalan. Dengan gesture, dan mimiknya ia mampu menghanyutkanku dalam lagu yang ia persembahkan. Kebayang jelas suara gesekan melodi yang ia mainkan pada saat itu. Nada-nadanya halus, dengan teknik yang seharusnya tak seorang pun tahu apabila ia tidak latihan khusus dari yang mengerti.
Tanpa sadar aku telah melamun, dan kurang lebih lima belas menit lamanya mataku tertuju pada lampu merah tempat aku menunggu dan bertemu seorang anak gadis tadi. Tiba-tiba seseorang menyadarkanku dengan mengecup bahuku dengan jemarinya. Lalu membuat semua imajinasi tadi terbang entah kemana.
“Kak, Kak!” seru suara gadis kecil yang halus kearah telingaku. Ia duduk di sampingku, dengan sebuah tas khusus yang kukenal sekali.
Aku pun yang tersadar sedikit terlonjak dan mulai menengok ke arah gadis itu. Senyumannya yang tersirat dari mimik yang manis membuatku mengenalnya. Dan tasnya yang khusus itu tas yang sangat akrab kubawa juga. Tas Biola.
“Hah? Kaget kakak nih. Kamu gadis yang tadi pagi bukan?” tanyaku kepadanya sambil membenarkan dudukku.
“Ya, kak. Kakak yang tadi pagi memberiku uang banyak bukan?” tanyanya dengan suara halus, dan aku hanya mengangguk, “ Wah, aku kira salah tadi. Aku tadi ragu-ragu saat mau menyapa kakak.” Aku hanya tertawa kecil.
“Oia, kakak sedang apa?” tanyanya sambil menyandarkan tas biolanya ke tembok yang ada dibelakang kami.
Aku pun bingung ingin menjawab apa. Tak berani aku mengatakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Tak ada jawaban dariku sampai gadis itu bertanya lagi.
“Mau beli bunga ya?” tanyanya halus sambil menengok ke arah deretan pot yang berisi bunga-bunga indah, dan bunga-bunga hiasan yang berjajar di dalam toko. Aku pun mendapat ide.
“Haha, ya ini sedang ingin beli bunga. Tapi bingung mau yang mana?”
“Boleh aku sarankan pendapatku?”
“Wah boleh.. Kira-kira yang mana ya yang bagus?” tanyaku sambil melihatnya menatapi bunga-bunga yang ada disamping kami.
Bougenvile aja kak? Dia indah, dan begitu menawan, Namun penuh kelembutan. Sedangkan Rose indah berwarna merah darah namun penuh duri, bisa-bisa hanya melukai orang yang kakak beri saja,” tukasnya halus sambil menunjuk ke arah bunga yang menebarkan warna ungu yang muda, dengan harum yang semerbak.
“Wah boleh juga. Bagus juga pilihan kamu,” tukasku, tapi aku penasaran mengapa ia tahu yang bagus yang itu, dan sampai tahu namanya segala, “oia, ngomong-ngomong kamu tahu banyak ya?”
“Ya, kak. Aku tahu banyak soal bunga, sebab ibuku dulu penjual bunga di daerah sana,” katanya sambil mengangguk tapi kurasakan aura kesedihan mulai menerpa jiwaku, “Namun semenjak ibu sakit keras, ia harus menutup usahanya, dan ayah yang sudah lama tak ada. Jadi, aku pun berhenti sekolah. Kini, aku hanya dapat mengamen seperti halnya tadi yang kakak lihat.”
“O.. Begitu ya.. Lalu, kamu mengamennya pagi-pagi saja?” tanyaku mengingat kini anak berandal telah menguasai daerah gadis kecil tadi mengamen.
“Ya, kak. Aku mengamen hanya pagi dari jam 5 sampai jam 7 saja. Setelah itu aku pergi ke sekolah untuk melihat teman-temanku belajar disana. Mereka sangat beruntung bisa memakai baju merah putih. Namun aku masih beruntung juga, sebab aku masih bisa belajar melalui jendela-jendela kelas mereka. Aku membawa buku satu untuk mencatat segala yang mereka pelajari. Lumayankan, aku bisa bersekolah tanpa harus membayar uang sekolah yang katanya gratis, nyatanya sampai sekarang sekolah saja tetap mahal bagi orang sepertiku. Lalu dari sekolah aku harus pergi ke sebuah ke rumah untuk kembali menemani ibu. Ibu perlu perawatan khusus, terutama dariku. Lalu sekarang aku kembali kesini, karena nanti sore aku harus kembali mengamen disitu,” katanya sambil menunjuk persimpangan lampu merah tempat aku melihatnya memainkan biola tadi pagi.
“Wah, hebatnya kamu. Kamu pantang menyerah dalam mengejar ilmu ya,” pujiku kepada gadis kecil itu. Aku dan dia bercakap-cakap lama sekali. Asyik memang, namun ternyata yang kudapat darinya ternyata gadis sekecil dia harus menanggung kesedihan dan penderitaan yang besar dalam awal hidupnya. Tetapi walaupun begitu, gadis yang kutanyai namanya, Laskar, ini mampu menunjukkan bahwa tak ada kata menyerah untuk sebuah perjuangan hidup. Hingga sampai akhirnya gadis ini mampu membangunkanku dari tidurnya wawasanku tentang anak jalanan. Sekaligus menamparku dengan sebuah pelajaran hidup untuk jangan menyerah selama hidupku.
Tak terasa obrolan panjang yang seakan tak ada habisnya pun membawaku tidak sadar akan waktu. Hari yang telah menjelang sore. Zamrud oranye sudah membakar langit yang biru, dan membayangi jalanan di persimpangan itu. Hal itu membuat Laskar sadar akan tugasnya mengamen lagi di persimpangan jalan itu.
“Kak, sudah menjelang sore nih. Aku harus kesana mengamen lagi,” tukasnya sambil bangun dan menunjuk persimpangan jalan tempat aku bertemu dengannya tadi pagi.
“Oia? Wah, sudah sore ya? Kakak juga baru sadar nih. Ya sudah, kesana gih buruan,” kataku sambil melihat jam tanganku yang berwarna hitam kelam. Aku yang memegang seikat bunga Bougenvile -yang kubeli tadi- kini melihatnya berdiri dan menggendong tas biolanya yang tampak kusam.
“Ya sudah ya kak. Aku kesana ya,” tukasnya sambil tersenyum dan hendak melangkah ke tempat dimana anak berandal lainnya sudah tidak ada di tempat itu lagi.
“Laskar tunggu!” seruku bangun dari dudukku saat gadis kecil itu melangkah cepat ke arah persimpangan, namun untungnya belum menyebrang jalan.
“Ya, ada apa kak?” katanya sambil berjalan pelan mendekatiku kembali, akupun menghampirinya dengan langkah yang lambat.
“Oia, senang bisa berbagi cerita denganmu Laskar. Ini sebagai tanda perkenalan kita bunga ini buat kamu, bagaimana? Siapa tahu mamamu akan sembuh setelah memiliki bunga kesayangannya lagi,” tukasku sambil menyodorkan seikat Bougenvile yang ada di genggaman tanganku.
“Wah beneran nih kak?” tanyanya tidak percaya. Raut tak percayanya mirip sekali dengan raut wajahnya saat ia menerima uang sepuluh ribuku. Dan kulihat senyumnya sudah mulai tumbuh dari bibirnya yang merah dan kecil.
“Ya, beneran dong. Sebenarnya tadi kakak tidak mau membelikan kamu.”
“Loh, pacar kakak?” tanyanya sambil menjebakku.
“Pacar kakak tomboi kok. Kalau sama bunga tidak terlalu suka dia. Dia mah sukanya olahraga,” bohongku tentang Aurel kepadanya. Aurel tidak suka bunga? Tidak mungkin itu terjadi.
“Wah, serius kak?” tanyanya sekali lagi untuk meyakinkannya benar.
“Ya, ini ambillah.”
Ia pun menerimanya, dan tersenyum senang. Aku pun membalasnya dengan senyum.
“Terima kasih kakak.”
“Ya sama-sama Laskar,” kataku. Ia pun mengucapkan selamat tinggal padaku, saat aku hendak pulang. Lalu aku melihatnya berlari menyebrang jalan, dan saat di pembatas jalan, ia melambaikan tangan kepadaku. Dan aku pun membalasnya. Laskar pun bersiap menyebrang jalan sisi satunya lagi. Dan aku pun berbalik, dan hendak menuju sepedaku yang masih tersandarkan di dekat Toko Bunga tadi. Namun, saat melangkah aku merasakan ada keanehan menyelimuti kepalaku. Perlahan keanehan itu mulai menggerogoti pikiran dan jiwaku. Sampai membekukan hatiku dengan perasaan buruk. Dan benar perasaan buruk itu pun tiba.
Tiba-tiba saja sebuah ledakan yang amat dashyat kudengar dari belakangku. Suara itu merayap di udara dan menelusuri seluruh penjuru persimpangan jalan. Aku yang kaget sekali berlutut karena hantamannya masih terasa dibelakangku. Asap pun lalu menjalar di seluruh jalan membuat getaran di jalan yang amat kencang. Sepintas aku memejamkan mata. Kudengar alarm bunyi yang diparkir di dekat situ merongrong di telingaku. Jeritan demi jeritan menyusul tak mau kalah rasanya dengan bunyi alarm yang keras. Dalam asap yang lumayan tebal, mataku kubuka. Dan tak dapat kulihat jelas apa yang terjadi di sekitarku. Yang kulihat hanya asap yang mengaburkan segala pandangan di sekitarku. Kuberusaha mengibaskan asap-asap itu, namun masih belum berhasil. Kudengar juga suara teriakan orang-orang, dan ada juga jeritan-jeritan, serta isak tangis yang begitu hebat. Dan persimpangan yang tadinya tenang menjadi kacau balau.
Aku menoleh ke belakang, dan melihat persimpangan itu. Tampak beberapa orang terjatuh di jalanan persimpangan. Kebanyakan dari mereka adalah pengendara sepeda motor, yang terkena hantaman ledakan tadi. Aku tak tahu, apakah mereka masih hidup atau sudah tewas. Selain itu para pengendara mobil keluar, dan berhamburan keluar. Diikuti jeritan-jeritan ketakutan yang keluar dari mulut mereka.
Beberapa detik kemudian asap mulai menipis, aku mulai melihat beberapa orang yang tergeletak bangun, dan berlarian menjauhi persimpangan tadi. Persimpangan? Aku nyaris lupa dengan persimpangan itu. Persimpangan dimana aku bertemu seorang gadis yang bermain biola sangat indah walau dia masih sangat kecil. Gadis biola? Laskar? Aku baru ingat bahwa Laskar tadi meninggalkanku ke persimpangan. Dan suara ledakan dashyat itu pun berasal dari sana. Astagaa! Teriakku dalam hatiku sehingga membuatku panik seketika.
Rasa panik, dan ketakutan tergambar di wajahku. Aku bodoh sekali, baru menyadari bahwa Laskar sedang menuju tempat yang sekarang malah jadi sumber ledakan itu. Bodoh sekali aku, karena aku juga baru sadar akan Laskar setelah 60 detik ledakan itu kudengar. Bodoh, bodoh, bodoh, sesalku berulang dalam hati sambil berlari menyebrang jalan menuju tempat Laskar berada.
Dilanda oleh panik yang menggelora dalam tubuhku, aku berdoa dalam hati semoga Laskar tidak apa-apa. Aku mencari dan terus mencari apakah Laskar baik-baik saja. Namun dalam pencarianku itu, kulihat banyak orang tak sadarkan diri tergeletak di jalanan, dan di trotoar sekitar persimpangan itu. Tak kutemukan gadis kecil, yang menggendong tas biolanya tergeletak dimana pun. Aku mulai sangat khawatir. Hingga kekhawatiranku terjawab saat seseorang mencolekku dibelakang. Dan aku yakin sekali, colekan yang rendah itu berasal dari gadis kecil itu, Laskar.
Tetapi saat kumenoleh ke belakang, aku tak melihat seorang gadis dengan tas biolanya, Melainkan seorang perempuan muda yang kesakitan dengan kaki yang tak bisa berjalan. Wajahnya yang sedikit penuh darah membuatku kasihan melihatnya.
“Toloooongg,” rintihnya sambil mengais-ais celana jeans-ku. Matanya yang memancarkan penderitaan begitu hebat melemahkan hatiku yang tadinya beku oleh kepanikan dan kekhawatiran. Aku pun menolongnya, dengan menggendongnya, dan membawanya menjauhi tempat itu.
Setelah aku menaruh perempuan tadi di tempat yang banyak orang berkumpul, aku mencari lagi gadis biola itu. Dalam asap yang mulai tak terlihat lagi, aku mencari dan mencari diantara banyak manusia yang tak sadarkan diri di jalan persimpangan itu. Sampai aku menemukan sebuah tas biola yang sangat kukenal, dengan gadis yang terbujur kaku agak jauh dari situ. Aku pun mulai sedih melihat gadis malang itu. Rasanya ingin sekali kuteteskan air mata sebanyak-banyaknya saat itu. Mataku mulai pedih, dan cucuran-cucuran air mata mulai membasahi pipiku saat ku berjalan lemas menuju gadis yang tertidur lemas di dinding salah satu toko di dekat persimpangan itu. Dan saat kulihat gadis itu, benar dialah Laskar. Dengan tubuh, yang penuh luka goresan kaca, dan pecahan kaca disekitar tubuhnya, ia terbujur kaku menggenggam seikat bunga. Bunga Bougenvile.


                                                ***

Pertemuan oleh seorang sahabat layaknya sebuah komet yang melintasi bumi. Ia hanya sesaat ataupun sekejap mata, dan mungkin lama sekali untuk menunggunya terulang lagi. Namun, sangat indah saat dirasakan, dan tak terlupakan saat kita mengenangnya,
-by Aloysius Damar Pranadi-

                                                ***

Bertahun-tahun kemudian, aku yang sudah menjadi seorang pelatih biola mandiri, dan memiliki tempat pembelajaran sendiri sedang melihat konsep orkestra hasil karyaku sendiri. Aku menyewa sebuah gedung pertemuan mewah, di suatu tempat di kota Jakarta. Aku yang sudah tinggal di Jakarta kini, telah sukses memperkenalkan biola.
Acara orkes yang sederhana telah kukonsep sangat apik. Dan hingga pada akhir acara, aku mempersembahkan sebuah acara puncak, yang mungkin akan membuat penonton sangat terpukau.
Saat pembawa acara, membuka acara puncak. Seorang gadis cantik berparas elok pun maju, dengan dibantu oleh seorang asisten untuk berjalan menaiki panggung yang kudirikan di hadapan lebih dari setengah ribu penonton. Dengan gaun yang indah yang melekat ditubuhnya, ia sangat cantik dan rupawan. Ribuan mata kini telah memandang seorang gadis yang jalan dengan susah payah melangkah menaiki dibantu seorang asisten untuk menampilkan sesuatu yang amat jarang. Akhirnya keanehan berjalannya, yang terpogoh-pogoh, membuat penonton yang melihatnya mulai saling berbisik, karena mereka mulai menyadari bahwa gadis itu seorang tuna netra.
Setelah ia berdiri di depan sebuah kursi yang telah ditaruh diatas panggung itu. Ia menunduk, dan memberi hormat kepada seluruh penonton yang menatapnya. Penonton pun membalas hormat kepada gadis itu dengan tepuk tangan yang meriah di seluruh penjuru ruang besar itu. Setelah tenang kembali, gadis itu pun akhirnya terduduk tegak sambil menggenggam sebuah biola yang ia bawa daritadi.
Kecupan-kecupan manis jari tangan kirinya berpadu mulai gesekan lembut tongkat biola yang ia ayunkan oleh tangan kanannya. Melodi demi melodi indah pun mengalir dari lubang pada tubuh biola ke seluruh atmosfer ruang tersebut. Halus, dan penuh harmonisasi nada membawa para penonton hanyut pada kolaborasi nada yang ia mainkan. Mimik wajahnya yang penuh dengan penghayatan memampukan penonton merasuki lagu yang ia persembahkan itu. Sedu dan sedan mengalir, dan tergambar jelas dari setiap melodi Moonlight Sonata yang ia mainkan.
Lagu yang sangat kusukai itu sangat berhasil dibawakan oleh gadis cantik berparas elok itu, dengan keterbatasannya. Gadis yang dahulu, hanyalah seorang gadis pengamen di jalanan. Gadis yang dahulu kutemui di sebuah persimpangan jalan, yang pernah ada bom meledak disana. Gadis yang tidak mampu melihat indahnya warna lagi oleh karena bom. Namun gadis itu masih mampu melihat indahnya nada, melodi, dan gesekan biola yang mampu menyihir ribuan mata terpaku kepadanya. Ya, dialah Laskar. Seorang gadis kecil yang dahulu kutemui di sebuah persimpangan jalan. Yang buta oleh karena teror bom beberapa tahun lalu. Kini mampu membuatku dan ratusan orang terinspirasi olehnya. Karena melalui dirinya, ia menunjukkan bahwa keterbatasan itu bukan akhir dari segalanya. Melainkan awal dari sesuatu yang hebat.

                                                                        This story is originally presented by
                                                                        Aloysius Damar Pranadi

1 komentar:

  1. keren! itu yang saya rasakan bahkan sejak membaca paragraf pertama. Damar mampu melukiskan bahkan momen-momen yang sangat sederhana dalam untaian kalimat yang yang "menyedot" pembacanya dalam pusaran kesyahduan yang membuat kita tidak ada momen yang terlalu sederhana semisal "berkeringat dalam kamar kosan yang panas" jikalau kita mampu meresapi segala aspek di luar dari nalar statis dan mulai mencari melankolia yang tercipta, seperti yang dilakukan penulis, keep up the good work!

    BalasHapus