Kamis, 21 Juni 2012

Cintamorfosa


Hujan menjatuhkan tetes demi tetes air dari awan abu. Alam memang sungguh tak sabar untuk menunggunya. Panas yang dahulu merajai hari kini harus hilang ditelan musim. Aspal yang terbakar setiap harinya dijalan kini sedingin batu pualam. Ya kenyataan memang harus membawa bumi ini dalam masa kekuasaan penghujan lagi.
Aku hanya menopangkan dagu diatas kulit biola ini. Jari-jariku menari menyibakkan nada demi nada ke seluruh kamarku, walau kerusuhan di hujan kudengar kian derasnya. Pandanganku menembus kaca jendela, menerawang ke langit yang nelangsa.
Mengapa disaat janjiku terucap, alam tak mendukungku? Apakah aku tak diizinkan bertemu dengannya hari ini?
Kuyakin janjiku beberapa hari yang lalu kini kembali menjadi ampas kebisuan dirinya lagi. Siapa lagi kalau bukan perempuan yang selalu mampu menghiasi hari-hariku. Ausitha. Sosok elok yang menyihir pikiran dan perasaanku hanya dalam waktu singkat. Matanya bak larik puisi yang terucap indah. Bibirnya bak kidung surgawi yang merayu lembut pada setiap abjad huruf yang ia ucapkan. Tubuhnya pun semanis getar senar biola. Sungguh tak dapat kurangkai keajaiban dalam dirinya.
Tapi sayang kecantikannya itu susah kugenggam. Sebab sejauh ini kita berdua adalah sahabat. Diriku pun tahu aku memang tak bisa menyentuh perasaannya dalam arti cinta. Sebab ia telah mencintai seseorang yang lain yang jauh lebih berparas elok dariku. Arjuna. Seorang pemuda berperawakan tinggi, gagah, dan merupakan keturunan darah biru keraton ngayogyakarta hadiningrat. Kepintaran dan ketampanannya itulah yang telah membius sahabatku.
Sebenarnya aku tetap bersahabat dengan baik. Aku sedikit berkepala batu dan tidak peduli jika Ausitha memiliki kekasih. Aku justru malah senang karena ia tepat sekali memilih Arjuna ketimbang aku yang biasa saja, dan tak seelok Arjuna.
Akan tetapi yang kuherankan Ausitha, yang sudah lama tidak bertemu denganku, kemarin malam mengajakku bertemu sore ini. Jujur saja mungkin ia ingin bercerita panjang lebar dan mendongengkan kisah percintaannya bersama Arjuna. Sedikit iri saat mendengarnya memang, tetapi kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Walau ia bahagia tidak bersamaku, aku tetap merasakan kebahagiaannya juga.
Kumasih membayangkan kata-katanya yang manis yang bersenandung di telingaku tadi malam. Bila kuceritakan kembali kisah tadi malam, disaat kusedang merangkai kata untuk tugas kuliahku getar handphoneku menggugah kesunyian. Kulihat kedalam cahaya temaram layar handphoneku dan nama Ausitha muncul bersama fotonya denganku. Panggilan darinya pun tak bisa kutolak walau aku sempat kesal karena ada yang menggangguku mengerjakan tugas kuliah.
"Halo?" tanyaku ke handphone yang kini sudah menempel ditelingaku. Kudengar nafas yang agak tak teratur didalam sana. Nafas yang tersengal tak karuan.
"Ya, Ausitha. Apa kabar?" bisikku dengan pelan ke handphoneku. Aku mulai penasaran, karena perempuan yang sedikit iseng ini pernah mengerjaiku seolah ia diculik. Jadi aku lebih waspada agar tidak terjebak didalam keisengannya lagi.
"Hai, Rama!" sapanya lembut sekali di telingaku, "Ya, aku habis dapat suatu keanehan ini. Sampai sekarang aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, bagaimana ini?"
Aku pun sejenak bingung. Apa gerangan yang terjadi sama perempuan ini. Nafasnya yang sudah mulai beraturan menyembunyikan sebuah teka-teki perasaannya. Aku pun hendak bertanya apa yang terjadi tetapi ia telah memulai pembicaraan kembali.
"Apakah kamu sibuk besok, Ram? Aku ingin bercerita tentang apa yang mungkin kini menjadi pertanyaan di benakmu. Kalau kamu tidak sibuk, tolong jemput aku ya! Nanti kita akan cari tempat yang enak buat cerita, bagaimana?" tukasnya lembut. Kata-katanya barusan perlahan mengubur rasa ingin tahuku. Aku pun jelas tidak dapat menolak pertemuan ini. Jelas, karena kerinduanku akan wajahnya telah memantikan api semangatku untuk mejumpainya.
"Iya, boleh. Aku tidak ada acara kok, ta. Aku jemput kamu ya, ditempat biasa. Jam tiga sore bagaimana?" tanyaku untuk menspesifikasikan waktunya.
"Oke! Sudah ya, Ram! Sepertinya malam-malam begini aku ganggu kamu belajar."
"Tidak kok ini lagi melepas penat dengan bersantai," bohongku, sambil tersenyum ke tembok yang membisu.
"Oke, sampai ketemu besok ya! Dah!" serunya, sepertinya ada kelegaan yang kubaca dari sikapnya barusan.
"Dah!" seruku, pembicaraan kami pun ia tutup. Dan aku kembali tersadar dalam deru hujan yang kudengar. Petikan biolaku ditelan oleh gemuruhnya tetesan hujan yang menghujam jalanan di luar. Aku pun masih terdiam dan bingung akan apa yang kulakukan.
Semakin detik berpacu semakin gulita mencengkeram langit. Jarum yang tak berhenti berlari sudah menunjukkan jam tiga, aku pun sudah mencoba mengirim pesan pendek ke Ausitha. Namun belum ada jawaban sampai sejauh ini.
Bagaimana ini? Haruskah dunia ini membuatku berbohong? Apakah alam tak tahu apa arti janji? Aku pun terus bertanya terus di dalam hati kepada alam, dan kembali menghampiri dunia khayalku.
Kumulai perjalanan imajinasiku sambil memetik biola. Entah nada apa yang kubunyikan yang jelas pikiranku lagi melayang ke sebuah masa dimana dahulu aku pertama kali berjumpa dengan Ausitha. Sebenarnya agak lucu sih kami berdua itu bertemu, sebab dari sebuah insiden kecil di sebuah perpustakaan kampus. Aku sedang sibuk berjalan miring di sebuah lorong buku. Aku lihat lorong yang dibuat dua rak buku besar itu kosong, maka aku pun tanpa hati-hati melaju cepat dengan miring dan tak melihat jalan. Kebetulan saja ia datang tanpa melihatku juga dan membawa buku bertumpuk tiga. Aku pun tanpa memerhatikan langkah dan terfokus pada buku yang kucari akhirnya menabraknya dengan keras. Buku-buku tebal yang ia bawa pun terlempar kemana-mana. Aku yang jatuh segera menolongnya.
Nyaris saja kami menghancurkan satu ruangan itu, sebab, Ausitha nyaris merobohkan salah satu rak buku besar di samping kami. Padahal seandainya badan Ausitha lebih besar dan dorongan saat jatuhnya lebih besar rak buku tersebut seperti kartu yang disusun berjajar dan jatuh berurutan. Untung saja badannya yang agak langsing tidak mampu merobohkan rak tersebut.
Karena saat bertabrakan Ausitha menjerit keras, salah satu pengurus perpustakaan datang dan melihat kejadian aku memegang tangannya. Mungkin karena salah paham pengurus itu langsung memarahiku dan sedikit mengumpatku. Ia kira aku hendak melakukan hal yang tidak-tidak. Aku pun meminta maaf dan menceritakan sebenarnya. Untung saja aku dibantu Ausitha untuk menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi, kalau tidak urusan tersebut menjadi semakin rumit.
Dari situlah kami berdua akhirnya mengenal. Ausitha lalu meminta maaf akan kesalahannya tidak melihat langkah. Aku pun meminta maaf juga, dan membantu membereskan segala buku yang ia bawa. Beberapa buku yang ia ambil tadi ada yang terlepas beberapa lembar. Ia pun shock dan sedih, karena buku itu buku yang sudah tua. Aku pun akhirnya menawarkan diri memperbaiki bersama. Dan dari situlah kisah kami tertuang dalam kehidupan kami berdua.
Getar dan suara dering handphoneku membangunkanku dari ketidaksadaranku. Aku lihat layarnya ternyata Ausitha meneleponku kali ini. Aku pun segera mengangkat dan langsung berdiri dari dudukku.
"Ausitha, bagaimana ini? Ditempatku hujan deras," tanyaku sambil aku memandang langit kelam yang kian mengganas. Aku sebenarnya ingin mendengar ceritanya. Sangat. Belum ditambah canduku akan wajahnya yang kini telah lama tidakku rasakan keindahannya.
"Sama, bagaimana ini, Ram?" tanyanya dalam kebingungan yang memuncak. Sepertinya ada sesuatu yang besar yang ia hendak bicarakan. Sesuatu yang mungkin penting dan bisa menakjubkan atau bisa menakutkan.
Dalam benakku sendiri malah bukan kebingungan yang memuncak, tetapi malah rasa penasaranku. Dalam perasaanku aku merasa diwajibkan untuk datang kesana, entah karena apa. Rasa ini benar setelah Ausitha memberitahuku.
"Ram, aku harus memberitahumu hari ini. Tidak besok, dan hari-hari selanjutnya. Aku tidak bisa.. Sungguh.." Ausitha berkata dengan nada yang sangat mengharukan. Aku tahu ia sudah meneteskan air matanya yang seindah mutiara disana. Aku pun terenyuh, dan setelah mendengar perkataan itu aku bangkit berdiri menaruh biolaku di kasurku.
Sebenarnya ada apa, aku tidak tahu. Yang jelas kata-kata Ausitha barusan adalah petanda bahwa ia memiliki suatu rencana yang benar-benar luar biasa. Tanpa sepengetahuanku.
"Tenang, Ausitha. Aku akan kesana," tukasku sebijak mungkin. Kudengar ia malah kian terharu, tidak, ia sudah menangis. Aku sebenarnya bingung. Apa yang kuperbuat salah satu tindakan terbodoh yang pernah ada mungkin. Tetapi sempat aku berpikir apakah kali ini ia mengerjaiku. Aku menyangkal terus pikiranku itu sebab tangisannya ini bukan buatan, bukan juga tangisan biasa, melainkan tangisan selamat tinggal.
***
Kukeluarkan sepeda motorku setelah segala persiapan menantang hujan yang kian memberontak atas penjajahan musim kemarau kini sudah siap. Aku siap merajai jalanan yang kini diderai oleh angin kencang.
Memang sulit sekali menembus pekatnya air hujan yang deras. Pandanganku dihapus oleh tebalnya tetesan air hujan yang jatuh menghujam bumi. Awan kelam kini juga menggila. Halilintar meraung kerasnya di seluruh penjuru kota. Namun laju sepeda motorku tak dapat kuhentikan.
Jalanan kota budaya ini cukup sepi dengan pengendara sepeda motor. Sepeda motor yang berlalu-lalang dapat dihitung dengan jari. Kebanyakan pengendara motor lebih memilih berteduh di sepanjang ruko di salah satu jalan ternama disini. Angin berhembus kencang. Ia seolah ingin menghempas motorku dari arah barat. Namun dibantu oleh gaya gravitasi aku pun tetap kokoh melaju.
Hujan ini kesurupan. Ia benar-benar balas dendam terhadap panas yang lebih dari tiga bulan menguasai Pulau Jawa bagian selatan ini. Sungguh mengerikan memang. Tetapi lebih mengerikan lagi kesimpulan setelah aku mendengar telepon dari Ausitha sore ini. Dari pembicaraannya yang benar-benar aneh, dan tangisannya yang menggelorakan ucapan selamat tinggal secara tidak langsung. Seolah ia ingin pamit pergi jauh sekali.
Dalam hiruk pikuk hujan dan jalanan, pikiranku terbagi dua. Satu ke jalan yang kutempuh, satu lagi dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Ausitha.  Akankah ia pergi selamanya? Kemana? Pertanyaan itu selalu membayangi perjalananku.
Jeritan Klakson dari mobil di belakangku mengagetkanku. Aku baru tersadar lampu lalu lintas yang tadinya berwarna merah darah kini telah menjadi hijau seperti batu permata.
Kini sedikit lagi aku sampai di rumah Ausitha. Ya, sesaat lagi sebuah babak baru dalam kehidupanku akan segera dimulai. Entah babak yang seperti apa dan bagaimana proses pergantiannya, hanya waktu yang tahu di dunia ini.
Semakin mendekati rumah Ausitha semakin perasaanku menandakan ketidakenakkan yang luar biasa. Aku tak mampu mengungkapkan kata apa yang cocok dengan apa yang kurasakan. Hujan masih mempertahankan diri saat aku sampai di sebuah rumah yang berhalaman luas dengan gaya jawa yang sangat kental.
Pagarnya yang terbuat dari kayu besar sepertinya terbuka sedikit, dan aku pun menaruh sepeda motorku diluar. Lalu aku berjalan masih menggunakan jas hujan. Kulewati sebuah pekarangan yang rapi namun basah. Bunga-bunga di sekitarnya pun menahan hantaman demi hantaman hujan, rerumputannya digenangi oleh air. Aku akhirnya sampai di tangga teras rumah tersebut. Kurasakan sepi menyelimuti rumah itu.
"Kulonuwon,"tukasku dalam bahasa jawa yang artinya permisi, "Kulonuwon!"
Derit kayu yang mencicitpun terdengar sayup-sayup dalam deru hujan di luar. Seseorang telah datang kemari. Langkahnya tampak berat, dan bukan langkah Ausitha. Sosok perempuan yang sudah tua hadir di balik pintu kayu berukir indah. Aku pun mengenal alis, mata, dan bibirnya mirip dengan apa yang dimiliki Ausitha. Ya, beliau ini neneknya.
"Nyuwon Pangapunten, mbah. Onten Ausitha mboten mbah?" tukasku dalam bahasa Jawa sambil sedikit membungkuk demi menghormatinya. Artinya Maaf mbah, ada Ausithanya tidak mbah?
"Oh, nak lanang! Tak kira sopo. Piye kabare?" tukas neneknya Ausitha dalam bahasa jawa lainnya. Beliau terkejut melihatku berpenampilan seperti murid perguruan tinggi sihir.
"Sehat bagas waras, mbah. Onten Ausitha ne mbah?" jawabku kilat. Bahaya kalau beliau mengajak ngobrolku, sedangkan Ausitha mencariku.
"Ausitha ntas lungo, ngomonge sih arep tuku cemilan buat neng montor mabur," tukas beliau lembut. Apa? Buat di pesawat (montor mabur)? Aku pun hendak menanyakannya lebih lanjut, tetapi getar handphoneku langsung mengalihkan perhatianku. Ternyata sebuah pesan pendek dari Ausitha, yang memberitahuku bahwa ia berada di taman kesukaannya tak jauh dari rumah ini.
Aku pun lalu berpamitan dengan nenek Ausitha dan bergegas menuju tempat yang diberitahu Ausitha. Pertanyaan terus menyerbu benakku, setelah mendengar kata pesawat dari neneknya tadi. Apakah Ausitha akan pergi jauh sekali?
Akhirnya aku sampai di sebuah taman yang cukup indah. Taman itu berbentuk belah ketupat jika di lihat dari atas. Pohon-pohon yang rimbun berdiri kokoh berbanjar di tempat itu. Terdapat beberapa permainan anak-anak di rerumputan, sedangkan bangku panjang pada pusat taman. Gelapnya langit membuat lampu taman itu menyala temaram di sepanjang jalan setapak menuju pusatnya.
Aku pun segera turun dari motor dan melihat sosok perempuan duduk membawa payung warna merah jambu. Di sepanjang jalan temaram ini aku berjalan sambil melepas jasku. Memang hujan masih deras, tetapi jika memang benar Ausitha akan pergi, aku harus memperlihatkan diri sepenuhnya untuk terakhir kalinya.
Sedikit kekacauan terjadi di pikiranku. Mengapa Ausitha menyembunyikan hal ini? Apakah dia tak memberitahuku sejak dulu? Ahh..
Aku harus bisa mengontrol diri agar tetap tenang, karena aku sangat yakin Ausitha sangat terguncang juga. Lalu sosok perempuan yang kulihat dari kejauhan tadi, kini sudah mulai terlihat indahnya matanya.
Sungguh kecantikannya itu menampar kerinduanku untuk hilang. Sudah dua bulan mungkin aku tak melihatnya. Ia tak berubah, dan tetap sempurna. Walau kini ada kesedihan mendalam dari raut wajahnya.
Ia yang melihatku datang langsung berlari kearahku dan meninggalkan payungnya di bangku tadi. Sepertinya ia ingin merasakan dingin yang memelukku .
Namun tiba-tiba saja pelukan hujan yang dingin menjadi sangat hangat. Ausitha tadi langsung memelukku erat lebih erat dibandingkan dinginnya hujan. Aku sedikit kaget, namun aku membalasnya sama eratnya agar ia lebih hangat daripadaku. Hujan pun terasa hilang diatas kami.
"Dingin ya?" tanyanya dengan lembut. Suaranya yang lembut masuk lewat lubang telingaku diteruskan oleh tulang sanggurdi lalu masuk kedalam kepalaku. Otakku pun merespon dengan menganggukan kepalaku dan membalasnya dengan pertanyaan.
"Lama ya?"tanyaku, ia pun menganggukan kepalanya dibahuku, ia melonggarkan pelukannya sehingga wajah kami kini hanya dipisah jarak delapan sentimeter. Aku memandang bola matanya yang coklat. Tetapi perlahan aku melihat bola mata itu berkaca, dan meneteskan mutiara-mutiara indah. Tanganku yang berada dipinggangnya kini kuangkat untuk mengusap pipinya yang selembut sutera.
"Ta, kenapa kamu gak cerita sama aku kalau mau pergi jauh?" tanyaku sambil melihat bibirnya yang penuh melodi indah musik jika terbuka. Ia sedikit terdiam. Ia sedikit bingung bagaimana aku tahu.  Setelah itu ia mengubah raut wajahnya sehingga menunjukkan penyesalan yang begitu luar biasa.
"Maaf, aku memang tidak bisa, Ram" tukasnya menyesal, "aku takut kamu tahu aku akan pergi jauh sebelumnya. Karena aku takut mungkin kita tidak bisa bersahabat lagi nantinya. Aku sangat senang bisa memiliki sahabat yang begitu sederhana, rela berkorban, dan mau mendengar segala ceritaku. Kau seakan tiada duanya sejauh ini."
Apakah artinya ini? Barusan ia menyiramku dengan segala pujian yang terlontar indah dari bibirnya. Walau ada kata yang menghalangi pernyataan cintanya yaitu kata "sahabat".
"Lalu Arjuna?" tanyaku sambil memasang raut wajah penasaran. Jantungku berdetak kencang tak beraturan. Ia tertunduk, rambutnya yang halus kini menyentuh bibirku. Lalu kudengar ia berbicara.
"Sudah seminggu ini aku putus darinya, Ram. Ayahnya kurang setuju karena mungkin derajat kami yang sangat berbeda jauh, saat berkunjung ke rumahnya. Ia bercerita padaku ia diberi nasihat yang begitu menyentuh oleh ayahnya sehingga ia yang tidak bisa melanjutkan hubungan kami berdua. Sebenarnya aku sangat tidak terima, dan mengajaknya berhubungan diam-diam. Tetapi  ia tidak pernah membalas pesanku lagi, dan tidak pernah mau mengangkat teleponnya lagi. Aku pun kesal dan membiarkannya. Lalu, ayahku mengingatkanku sesuatu dua hari yang lalu, bahwa kami sekeluarga ingin pindah ke Belgia. Hanya aku dan ayahku, ibuku memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggal disini dan harus menjaga nenekku. Jadi kami memutuskan hanya berdua. Sayangnya aku harus pergi selama tiga tahun sampai ayahku lulus S3nya disana."
Hatiku terenyuh sekejap. Halilintar seakan baru saja menghantam benakku. Sebenarnya aku bisa mengatur ketenangan diriku, tetapi entah mengapa ada sesuatu yang memang tak bisa kutahan. Yaitu kerinduan, aku baru dua bulan saja tidak bisa bersabar. Bagaimana tiga tahun?
"Tidak bisakah kamu tinggal disini bersama ibumu, ta?" kata-kataku mulai serak entah kenaoa. Mataku mulai perih, Ausitha kini mengangkat tangannya dan mengusap setetes air mata yang tak kusadari sudah mengalir di pipiku.
"Tidak, ayahku sudah mencarikan aku beasiswa disana. Aku sudah terdaftar sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri disana."
Aku hanya tertunduk mendengar hal itu, dan mengeratkan pelukannya. Aku bingung, dan pikiranku semakin semrawut. Setelah menyiapkan diri sesaat, aku meneggapkan kepalaku dan kini kurang dari lima sentimeter jarak wajah kami.
"Walau dua bulan aku sudah tidak sabar melihat kamu, sehingga aku kemari rela menantang hujan. Aku akan mencoba menunggu tiga tahun. Ya, tiga tahun. Semoga waktu itu sebentar. Danナ"
Ausitha memandangku heran ketika aku berhenti. Aku sebenarnya bingung untuk mengatakannya. Tapi aku tetap mencoba menanyakannya. Aku mengumpulkan seluruh keberanianku saat ini, dan akhirnya.
"Ausitha, sejauh yang kita lakukan berdua saat ini-eemm- apa pantas kita masih disebut sahabat?" tanyaku dengan ragu-ragu. Sekejap jantungku dihujam panah es yang mampu membekukan segala aliran darahku. Aku pun melihatnya terheran-heran. Ia tak berkata apa-apa,bibirnya pun terbuka sedikit.
Ia tersenyum akhirnya tertawa kecil. Kukira ia akan melepaskan pelukannya yang hangat, tetapi ternyata malah kebalikannya. Pelukkannya semakin erat, dan mengencang. Aku pun segera meresponnya walau sedikit heran. Dan yang kuheran dari wajahnya mengapa semakin lama semakin mendekat. Setelah tertawa kecil ia pun berkata, "apakah aku harus menjawabnya?"
Aku pun mengangguk dan berkata kecil, "Ya!" Bibir kami kini tak lebih dari tiga sentimeter jaraknya. Sama seperti wajah kami, sangat dekat. Namun saat kupandang ke dalam bola matanya yang indah, bola matanya seakan bergelinding mendekati mataku. Dan perlahan ia mendekatkan bibirnya, kurang dari 3 sentimeter, lalu dua sentimeter, dan berhenti di satu sentimeter. Aku pikir ia ragu, ternyata ia memang diam, ia memejamkan matanya menunggu aku yang mencapai sentimeter ke nol tersebut.
Aku pun menyambut bibirnya yang benar-benar sama halusnya dengan sutera, namun agak basah sedikt. Gelora kehangatan kami kini sampai pada puncaknya. Seolah ada sebuah ledakan perasaan kami selama ini. Ada sesuatu yang diam-diam kami pendam hadir dan muncul pada saat kami akan terpisah jauh. Ya sesuatu itu yang belum terjawab dari mulut Ausitha langsung. Namun terjawab secara tidak langsung.
Lembutnya bibir kami yang bersentuhan membuat kami mempertahankannya lama. Tak terbayangkan betapa nyamannya kurasakan saat itu. Seakan-akan aku tak mau melepaskannya selamanya. Aku terhanyut dalam permainan itu, sama seperti Ausitha, saat kubuka mataku sesaat, ia terasa menikmatinya sangat dalam. Aku pun akhirnya menutup mata lagi dan menikmatinya lebih dalam dari sebelumnya. Mungkin Ausitha memang sudah menahan rasa dan mungkin sebelum ia ingin pergi jauh, ia ingin meninggalkan sesuatu yang sangat berharga disini. Di taman ini, bersamaku.
***
Sudah tiga tahun lamanya berlangsung. Waktu pun bergulir dengan cepatnya menembus dimensi kehidupan. Aku pun kini sudah lulus dan bekerja di salah satu perusahaan asing perminyakan di pesisir Jawa. Sungguh, kisah ini memang mengena betul dihatiku. Bagaimana tidak, Ausitha bagiku adalah cinta pertama dan terakhirku.
Sehabis pulang dari tempat kerjaku, aku harus berangkat ke Jakarta karena esok adalah hari yang kutunggu-tunggu selama tiga tahun ini. Ya, esok hari adalah hari kepulangan seseorang yang kucintai yang telah tiga tahun lamanya tak kujumpai.
Sosoknya sangat aku rindukan. Malam ini pun ia meneleponku, dan memberi tahuku bahwa pesawatnya akan datang jam 3 sore esok hari. Tepat tiga tahun lebih satu hari dari kejadian itu memang. Ia pun memberitahuku seperti itu. Aku pun berpura-pura lupa, dan ia sempat ngambek. Akhirnya aku mengakui bahwa aku tak mungkin melupakan tanggal yang begitu berharga bagiku. Memang tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal yang menurut dunia percaya bahwa tanggal tersebut tanggal kasih sayang. Tanggal dimana sebuah kenangan manis terukir abadi di sanubari kami.
Esok harinya aku sudah sampai di Jakarta, aku izin tidak masuk karena aku memang sudah berjanji akan menjemputnya. Ia pulang bersama ayahnya, namun dari Singapur ayahnya mampir dahulu ke rekan kerjanya, jadi ia pulang sendiri. Aku langsung melesat ke bandara melalui taksi yang kusewa.
Sesampainya disana aku menunggu 1 jam, karena memang masih jam dua. Setelah jarum jam menunjukkan jam 3 sore, aku melihat sebuah rombongan datang dari arah pintu kedatangan. Aku mencari sosok yang paling indah disana, dan aku melihatnya kebingungan mencariku. Aku pun mengendap-endap dan berjalan di belakangnya lalu menutup matanya dengan telapak tanganku.
"Hei, gadis, cari siapa?" tukasku menyamarkan suara. Mendengarnya ia sempat diam sejenak, lalu malah tertawa terbahak-bahak. Kencang sekali sampai orang disekitar menengok kami, lalu berkata.
"Suaramu tak mungkin menipuku, Ram," ia berkata, aku pun tersenyum dan melepaskan tanganku dari matanya. Ia lalu berbalik sehingga rambutnya yang panjang menyibakkan udara disekitarnya. Wajahnya yang merupakan ciptaan Tuhan paling indah kini ada di hadapanku.
"Aku dua bulan saja tak mampu bagaimana tiga tahun," ejeknya sambil tertawa dihadapanku. Akupun tertawa kecil, tapi kesal juga. Akhirnya aku menjiwit pipinya yang lembut dan kelihatan gembul kali ini. Setelah mengobrol sebentar lalu kami pulang dan melepas rindu bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar