Kamis, 21 Juni 2012

Firdaus


Hujan rintik membasahi bumi. Dari embun yang mengkilap di awan, ia terjatuh menumbuk pasir-pasir pantai yang putih di pinggir sebuah desa. Diiringi oleh gema lonceng dalam perahu yang menggetarkan angin yang turun dari pegunungan .

Petang menjelang. Seharusnya kedatanganku disambut oleh sunset yang indah di pantai ini, tapi apa daya, alam telah menyulapnya menjadi gelap gulita. Aku dengar halilintar menggelegar dimana-mana, menandakan bahwa hujan akan segera turun sangat deras. Angin yang cukup keras, membuatku harus menyipitkan mataku. Aku diatas perahu kayu kecil yang terombang-ambing oleh ombak yang cukup besar sore itu.
“Wah, tampaknya akan hujan besar ini, pak,” tukasku sambil menoleh ke belakang ke arah seorang nelayan tua yang perahunya aku tumpangi ini. Nelayan yang sudah agak tua itu hanya tersenyum sambil mendayung perahu ini dengan sepenuh tenaga.
“Ya, anda kurang beruntung Pak Arif, seandainya bapak datang kemarin anda akan melihat sunset yang indah dari pantai Lombok ini,” sahut anak seorang nelayan yang mendayung di bagian depan perahu. Ia masih muda, berperawakan besar, gagah, dan pekerja keras. Namun dari raut wajahnya yang ramah, ia kelihatannya seorang yang baik sekali.
“Yah, sayang sekali ya! Andai saja kapalku kemarin tak tertunda, aku akan merasakan surga di daerah timur ini,” sesalku sambil tersenyum.
Riak air laut terus menampar sisi-sisi perahu kami. Kami pun hanya mampu berusaha sekuat tenaga agar tetap stabil, akupun membantu ayah dan anak ini dengan membuang air laut yang masuk ke dalam perahu.
Tak lama kemudian, kami pun sampai di pinggir pantai. Pantai yang indah dengan pasir putih dan pemandangan pegunungan yang luar biasa di sekitarnya. Dengan awan hitam memayungi pulau ini, sungguh menakjubkanku layaknya aku melihat lukisan mahakarya sang pelukis terkenal. Inilah Indonesia bagian Timur yang aku cintai. Indah, dan menawan.
Aku baru pertama kalinya ke Pulau Lombok, pulau yang memiliki seribu keindahan khas Indonesia Timur. Dari Jawa aku menempuh perjalanan yang cukup lama.Aku harus naik turun kapal antar pulau untuk sampai ke pulau yang mirip firdaus ini. Aku tak mengajak istriku tercinta karena ini adalah misi pekerjaanku sebagai seorang guru.

Kami yang sudah di pinggir pantai lalu menyandarkan perahu kami. Nelayan tua dan anaknya yang mengurus semuanya, sedangkan aku turun dan menurunkan sejumlah tas yang kubawa.
Angin yang bertiup kencang membuat kami harus menyipitkan mata, dan berhati-hati. Hujan yang semakin deras membuat tasku yang kubawa basah kuyup. Tapi untungnya aku sudah memperkirakan hal ini, jadi isinya tidak akan basah semua. Pohon kelapa yang miring-miring dipinggir pantai dikoyakan oleh angin sehingga salah satu dari daunnya terlepas dan hampir saja mengenaiku. Melihat itu sang nelayan tua tersenyum, dan berkata, “Hai, pak. Tampaknya engkau disambut ramah oleh Yang empunya pulau ini.” Dan aku membalasnya dengan senyuman tetapi sejujurnya aku tak mengerti apa yang ia katakan.
Perjalanan ternyata masih belum berakhir. Bersama dengan nelayan tua dan anaknya itu aku masih harus melewati semak belukar yang cukup rimbun untuk mencapai sebuah desa. Aku yang sudah agak lelah hanya membawa dua tas dari empat tas yang kubawa. Tenagaku hampir habis, tapi kupaksakan untuk sampai disana.
Setelah lima belas menit menyusuri semak belukar dan pepohonan yang rindang, aku sampai di sebuah desa yang kecil. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu-kayu yang sederhana. Tampak orang-orang di dalam melongok dari jendela karena suara langkahku yang kasar menggema di seluruh penjuru desa. Kulihat mata-mata mereka memancarkan keheranan. Dan setelah tak lama kemudian, kami berada di pusat desa itu. Aku lihat seorang tua berdiri di depan rumah yang cukup besar. Rumah tersebut kelihatannya rumah seorang pemimpin desa ini. Aku masih belum tahu desa ini desa apa, karena aku hanya diberi tahu oleh temanku yang merupakan teman nelayan tua tadi tentang kritisnya pendidikan di desa ini. Padahal di perahu tadi aku sempat menanyakan kepada nelayan tua itu, desa apa yang akan saya datangi. Dia hanya menjawab Desa Pedalaman setelah itu tersenyum seperti telah menipuku.
“Selamat datang, Pak Arif! Saya adalah kepala desa disini. Saya menyambut anda di Desa Pedalaman ini mewakili orang-orang desa ini. Maafkan saya apabila anda harus datang ke tempat ini dengan sambutan cuaca yang kurang menyenangkan,” sambut orang itu saat aku sampai di hadapannya dengan logat khas orang-orang timur. Dan sambutan ini meyakinkanku bahwa nama desa ini memang Desa Pedalaman.
“Ya, terima kasih banyak atas sambutan bapak. Tidak apa, memang alam bukanlah kehendak kita manusia,” jawabku penuh hormat.
“Engkau pastinya telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Mari kita masuk ke pondok desa kami ini,” ajaknya sambil menaiki undak-undakan di depan pintu pondok itu. Matanya yang biru menatapku ramah.
“Ayo, pak,” seru anak nelayan tua yang kapalnya aku tumpangi. Ia mendorongku sedikit sambil membawa dua tasku.
Di dalam itu kami berbicara banyak. Sejak awal disambut aku merasa seperti di Godean tempatku tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku merasa seperti di rumahku. Mereka sangat ramah. Aku disuguhi oleh makanan khas desa ini yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh disekitar desa. Mereka masih sangat primitif dan agak tertinggal. Belum ada listrik, dan pengelolaan air desa. Tapi satu hal yang sangat hebat. Disini tak ada polusi udara sama sekali.
Sang kepala desa yang menyambutku tadi bernama Ul Saka. Entah mengapa namanya agak terdengar unik di dengar olehku. Ia seorang sesepuh yang masih tidak terlalu tua, berbadan tegap, dan sangat ramah. Memang dia pemimpin yang hebat dari segi penampilan luar yang aku lihat. Ia bercerita banyak tentang desanya. Dari sejarah desa ini hingga pendidikan generasi desa ini. Sungguh menyedihkan, sekolah pun tak ada di daerah situ. Dan sepertinya desa ini desa yang tertutup karena letaknya yang dilindungi pegunungan di sebuah pulau yang berhutan agak belantara. Tapi untungnya, temanku Lamaka yang tinggal di Yogyakarta kini, berasal dari sini dan ia ingin aku membantu kemajuan anak-anak desa ini. Yang masih menjadi misteri dalam hatiku ialah, mengapa Lamaka bisa menjadi “orang” di kota Yogya?
“Mungkin anda bingung ya Pak Arif tentang bagaimana Lamaka bisa sampai di kota tempat dimana anda tinggal?” tanya Kepala Desa Ul Saka kepadaku, dan entah mengapa dia bisa tepat sekali membaca jalan pikiranku.
“Ya, Pak kepala desa. Benar sekali, itu masih menjadi pertanyaan di pikiran saya,” jawabku dengan santun dan penuh hormat.
“Tidak pernahkah ia cerita kepada anda?” tanyanya kembali.
“Sepertinya belum tuan.”
“Sayang sekali. Padahal ceritanya cukup menyedihkan. Begini ceritanya: Dahulu ayah Lamaka adalah nelayan. Nelayan yang hebat dan kuat, kami disini menyebutnya Sang Pelaut Timur. Dengan kegigihannya, ikan yang ia peroleh setiap harinya berlimpah, kebutuhan desa akan bahan panganpun terpenuhi. Namun ia gundah, karena ia takut anaknya hanya menjadi penerusnya. Ia ingin anaknya sukses dan menjadi orang yang lebih hebat daripadanya. Setelah berumur 10 tahun, Lamaka diajak oleh ayahnya pergi berlayar. Ibu Lamaka telah tiada dari Lamaka lahir. Ayahnya sebelum pergi berpesan kepadaku seperti ini, “Ul Saka yang terhormat, aku akan berlayar jauh ke kota di seberang lautan. Entah dimana itu, aku akan menjadikan Lamaka sebagai kebanggaan desa ini suatu saat. Dan aku akan menyampaikan pesan seandainya aku sudah sampai disana.” Begitu serunya kepadaku, lalu ia menghilang bersama Lamaka dari desa ini. Berbulan-bulan kemudian, aku tak mendapat kabar darinya. Yang kutahu badai sering datang ke lautan selama dekade tersebut. Setelah 15 tahun kemudian, seorang pemuda datang kepadaku dengan membawa ransel dan pakaian yang rapi. Dari matanya, aku mengenal bahwa pemuda itu adalah Lamaka. Ia menceritakan bahwa ayahnya telah membawanya ke suatu daerah, ia menyebutnya Bakli.”
“Bakli? Bukankah Bali tuan?” selaku karena aku sadar ia menyebutkan Bali salah.
“Ooo. Ya, mungkin saja itu, Pak Arif,” sahutnya, lalu ia melanjutkan kisahnya,”Setelah ia sampai disana, ayahnya sakit keras, karena telah menerjang puluhan kali badai di lautan. Dan sebulan Lamaka disana, ayahnya harus meninggalkan Lamaka untuk selamanya. Lamakapun diasuh oleh teman ayahnya yang kebetulan bertemu disana. Ia disekolahkan disana dan mendapat ilmu. Ia kemudian merantau ke kota anda untuk kuliah di universitas negeri disana.  Setelah lama, ia memutuskan pulang kemari, dan akhirnya sampai di desa. Ia menceritakan bahwa ada temannya yang sangat pandai dan mau berbagi ilmu, seorang guru. Ia menyebutkan nama anda kemudian. Dan katanya anda ingin sekali mengajar di daerah yang tertinggal demi kemajuan pendidikan di daerah. Hingga pada akhirnya anda kemari dan ada dihadapan saya.”
“Perjuangan seorang ayah yang tak sia-sia dan sungguh mengaggumkan sekali,” pujiku sambil berpikir kritis betapa hebatrnya kisah hidupn yang temanku alami. Tak kusangka, Lamaka memiliki kisah hidup seperti ini.
“Ya, maka dari itu untuk mewujudkan mimpi dari Lamaka untuk memajukan daerah ini, bersediakah anda membagi ilmu anda untuk anak-anak disini?”
“Ya, saya bersedia, tuan,” jawabku tegas dan hal itu membuat kepala desa tersebit senang sekali.

Malam pertama disana aku beristirahat total karena perjalananku yang sangat melelahkan. Aku beristirahat di bangunan kecil dekat rumah kepala desa. Dan selama aku di desa ini sepertinya aku akan tinggal disini. Walau tak terlalu nyaman, aku tetap tidur dengan nyenyak.
Pagi hari yang cerah aku bangun dan langsung menuju pantai. Sungguh seperti masih di dunia mimpi aku melihat betapa agungnya pemandangan yang aku lihat. Samudera yang kupandang habis ditelan sang cakrawala. Matahari mulai bercahaya dari ufuk timur. Pegunungan megah bak pilar-pilar langit yang dihiasi hutan-hutan belantara. Langit biru cerah menghapus untaian awan hitam yang tadi malam menutupi seluruh angkasa. Aku merasa seperti didalam mahakarya lukisan sang maestro Indonesia Affandi. Aku merasa aku melihat tanah firdaus yang nan surgawi.
“Indah bukan pak Arif?” tanya sang kepala desa kepadaku yang membuatku terbangun dari renunganku tadi.
“Ya, alangkah indahnya sampai-sampai saya merasa dalam firdaus,” tukasku sambil menghirup udara segar.
”Firdaus? Apa itu?” tanya kepala desa ini. Jelas dia tidak tahu menahu tentang firdaus, sebab ia masih menganut Dinamisme. Sepertinya agama manapun di dunia ini belum menyentuh sama sekali pulau ini.
“Surga tuan,” tukasku mengartikannya lebih mudah.
“Oo. Itu yang anda maksud Pak Arif. Ya, tapi saya kira, surga pasti lebih indah daripada desa ini,” tukasnya sambil tersenyum dan meninggalkan saya sendiri di pantai itu.

Siangnya aku berkeliling desa. Aku masih bingung apa yang aku lakukan sebelum mengajar anak-anak disini. Cari murid tukasku dalam hati. Tetapi sebelum aku mencari murid, aku hendaknya berjalan-jalan melihat-lihat kebiasaan masyarakat desa ini sehari hari, dan melihat anak-anak kecil di antara mereka. Tiba-tiba saja saat aku berjalan kertas yang kubawa terbang ke arah seorang anak kecil yang kupikir umurnya tak lebih dari 10 tahun. Anak itu bingung dengan apa yang telah ia dapatkan itu, sepertinya ia tadi lagi diam, dan merenung. Lalu akupun pergi mendekatinya, dan sangat terkejutlah aku.
“Ini pemberian! Pemberian Roh! Mamak!” teriaknya sambil berlari menuju rumahnya. Akupun kaget sekaligus bereaksi ingin tertawa, tapi aku berhasil menahannya. Tak lama kemudian ibu anak tadi keluar dan berteriak-teriak memanggil tetangga-tetangganya. Dan dalam sekejap di sekitarku berdiri ramai sekali orang-orang berkumpul.
“Hai, kawan-kawan. Anakku tadi sedang merenungkan sesuatu kepada roh nenek moyang kita. Tentang akan baikkah desa kita ini besok? Lalu, saat ia termenung ia tertampar oleh benda ini. Ini adalah wangsit dari nenek moyang yang ia berikan kepada anakku,” cerita ibu itu panjang lebar, aku hampir tertawa mendengar hal itu.
“Apa itu Mondo? Beri tahu kami!” teriak salah satu ibu diantara orang banyak itu.
“Ya apa itu?” tukas yang lain.
“Aku tak tahu, ini seperti kayu halus tapi coraknya aneh sekali. Dan ada gambar nenek kita semua yang ada disini!”
“Coba saya artikan,” kata seorang pria yang maju mendekati ibu anak tadi. Ia mengambil kertasku dan melihatnya sambil mengangkatnya tinggi-tinggi. Lalu ia melanjutkan,“Ya benar, ada sang nenek disana. Ia sedang menenun sesuatu. Ah, tapi apa ini?” Ia terkejut akan sesuatu di kertasku lalu menurunkannya dan melihatnya lagi.
”Loh kemana dia? Kemana kakek tadi? Ada kakek tadi disini?” ia bertanya kepada ibu itu sambil terheran-heran.
“Ini kakeknya,” jawab ibu itu sambil menunjuk di balik kertas.
“Bukan, tadi ia ada disini. Sekarang hilang sudah,” katanya sambil cemas, dan mencari-cari gambar kakek yang ia lihat di kertasku itu. Aku sudah tak tahan untuk tertawa, aku tertawa kecil dan mendekati kedua orang itu.
“Maaf, pak. Jikalau anda ingin melihat sang kakek itu, anda angkat tinggi-tinggi macam anda mengangkatnya tadi,” kataku sambil tersenyum. Pria tadi langsung mengangkat kertasku itu setinggi-tingginya seperti tadi. Dan betapa terkejutnya ia.
“Wah, itu dia Mondo! Sang kakek yang aku lihat tadi,” serunya senang sekali. Ibu anak tadi juga melihatnya begitu juga beberapa tetangga lainnya yang mendekat. Mereka takjub seperti aku melihat kucing bisa terbang. Mereka terheran-heran kepadaku, dan akhirnya aku melihat semua mata memandang kepadaku.
“Bagaimana anda tahu sang kakek akan muncul bila Alon mengangkatnya tinggi-tinggi?” tanya ibu anak tadi kepadaku.
“Karena aku yang punya kertas itu,” tukasku lembut sambil tersenyum. Mereka heran melihatku menjawab semua itu, dan aku rasa mereka kira aku berbohong. Tapi ternyata sebaliknya, ibu anak tadi langsung bersujud d untukku, diikuti oleh orang-orang lain disekitarnya. Aku pun tertawa dalam hati. Padahal hanya selembar uang lima ribuan. Tak kusangka aku tertawa semakin keras dalam hatiku. Ternyata uang bisa membuat seseorang menjadi dewa ya. Tak di kota, juga tak di desa. Tapi barter justru lebih baik, aku takut kalau nanti mereka disini tahu apa arti uang sebenarnya.

Sorenya aku harus menemui sang kepala desa, karena setelah kejadian tadi siang aku ingin “diwawancarai” olehnya.
“Pak Arif, aku telah mendengar kisahmu hari ini, dari masyarakat desaku ini. Boleh aku bertanya apa itu?” tanya sang kepala desa sambil menunjuk uangku.
“Uang pak kepala, sesuatu untuk memperoleh barang. Kita harus menukarnya dengan ini,” jawabku sambil menjelaskan sedikit dalam pengertian mereka.
“Apa benda seperti ini bisa ditukarkan dengan benda apa saja?” tanyanya kembali terheran-heran.
”Ya.”
“Saya tukar kuda bisa?”
“Bisa.”
”Sapi.”
“Bisa, keadilanpun bisa anda beli,” tukasku sambil tertawa kecil. Iapun ikut tertawa.
“Maksud anda?” tanyanya heran. Aku salah menjerumuskan ia ke masalah penyalahgunaan uang.
“Tidak, saya hanya mengada-ada tentang membeli keadilan,” jawabku.
“Lalu, anda bawa banyak uang itu?” tanya kepala desa itu.
“Tidak terlalu, aku hanya membawa secukupnya tuan. Memang mengapa?”
“Bisa ajarkan kami menggunakannya?”
“Boleh, dengan senang hati.”
Malamnya, masyarakat berkumpul di pondok desa untuk mendengarkan penjelasanku. Sangat sulit untuk menjelaskannya. Lebih sulit daripada aku harus mempresentasikan skripsiku di kuliah. Aku terkadang kehabisan kata dan sulit mencari bahasa yang lebih mudah untuk mereka pahami. Tetapi setiap aku menatap wajah para penduduk desa, aku menemukan wajah mereka memancarkan ketakjuban terhadap ceritaku. Seolah-olah mereka seperti anak kecil yang kudongengkan cerita-cerita zaman dahulu.
Setelah aku mempresentasikan tentang cara-cara berdagang, aku memberikan mereka masing-masing contoh uang dari uang yang aku bawa. Mereka ternganga sambil berbisik-bisik satu sama lain saat mereka memegang dan memerhatikan uang yang aku berikan kepada mereka.
“Dengan kertas ini kita bisa membeli sapi? Astaga! Orang luar ini memang luar biasa,” bisik seorang sesepuh dengan sesepuh yang lain dengan diperhatikan dengan anak-anak muda di dekat mereka. Aku hanya tersenyum saat mendengarnya sekilas.
Esok harinya, aku mengajak semua anak muda desa untuk menjual segala hasil pertanian dan berternak mereka. Mereka sebelumnya tak pernah menjual apapun ke luar desa ini. Mereka tak tahu bagaimana kehidupan di dunia luar. Aku tak tahu apakah pemerintah tahu akan keberadaan desa ini. Karena mereka sendiri tak terlalu tahu apa itu Indonesia. Kelihatannya aku harus berjuang untuk membuat desa ini dikenal oleh masyarakat Lombok, dan bahkan masyarakat Indonesia.
Aku pergi ke sebuah pasar di daerah Awang yang berada di sebelah tenggara Mataram. Pasar yang tak terlalu ramai ini dipenuhi oleh para nelayan dan peternak. Karena sebagian masyarakat di Lombok adalah peternak dan nelayan. Tak sedikit juga yang menjadi petani perkebunan. Aku mengajarkan mereka tentang jual beli disana. Kami menjual beberapa ikan, daging, dan hasil kelapa sawit. Dan hasil yang kami peroleh lumayan banyak.
Kami pulang sore harinya dengan penuh keceriaan. Hasil jerih payah mereka terbayarkan. Walau mereka sedikit bingung mau diapakan uang yang mereka gunakan. Tapi aku bilang kepada mereka bahwa esok hari akan aku jelaskan. Mereka menjawab dengan tersenyum.
Malamnya kami semua berkumpul kembali, untuk membagikan para petani dan nelayan sejumlah uang hasil penjualan kami. Malam itu juga kami merencanakan kegiatan bersama yang besok akan kami lakukan. Kami berencana untuk menyebarkan sisa uang yang kami peroleh kepada para penduduk dengan membeli apa yang mereka hasilkan dari pekerjaan mereka masing-masing.
Esok harinya akupun mengatur semuanya, dibantu dengan masyarakat sekitar aku menghidupkan jalan perekonomian di desa mereka. Mereka masih ragu-ragu dan belum terbiasa. Bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah. Tapi menurutku wajar saja, sesuatu yang baru tidak selamanya disambut baik. Untung saja sebagian masyarakat mendukung apa yang sudah menjadi keputusan sang kepala desa untuk menggunakan uang dalam jual beli barang. Mungkin karena barter memiliki beberapa kendala dan tidak terlalu praktis buat mereka.
Para sesepuh desa sebagian besar menolak cara uang, karena mereka menganggap uang menghapus kebiasaan nenek moyang mereka, dan berartiya tidak menghormati roh-roh nenek moyang mereka. Namun beberapa sesepuh menyetujui cara uang ini. Menurut mereka mungkin saja uang adalah sesuatu yang nenek moyang mereka tunggu-tunggu dalam hal jual beli, karena barter yang dahulu berkembang itu menemukan beberapa kendala semacam tadi. Mereka juga mengerti atas kebiasaan nenek moyang mereka, namun mereka berpendapat bahwa nenek moyang mereka akan lebih bangga apabila desa ini lebih maju dan lebih mensejahterakan penduduknya. Mereka percaya dan tetap memegang teguh adat namun harus pandai-pandai menyesuaikan zaman. Tak mungkin mereka harus tetap dalam kekunoan peradaban.
Selama berbulan-bulan aku berjuang untuk menghidupkan perekonomian di desa ini. Dan beberapa pedagang mulai berdatangan ke pulau kami. Pulau yang tadinya tidak tahu peradaban luar kini jadi salah satu sumber produksi perikanan laut dan pertanian untuk daerah selatan Lombok.
Serambi aku memajukan perekonomian di desa ini, aku mengajar anak-anak desa ini agar mereka lebih pandai. Anak-anak desa ini sangat memprihatinkan dalam bidang pendidikan. Mereka tak bisa membaca, menulis, dan kemampuan berhitung mereka masih sangat kurang. Aku sedih melihat naasnya pendidikan di desa yang siap maju ini. Aku lalu menemui Ul Saka untuk meminta izin memakai pondok desa sebagai sekolah siang harinya.
“Bagaimana tuan? Bisakah saya menggunakannya?” tanyaku setelah aku menjelaskan segalanya tentang keprihatinanku terhadap anak-anak desa ini.
“Tapi apa gunanya? Toh sebagian besar dari mereka nantinya akan menjadi seperti orang tua mereka,” tukas seorang sesepuh yang menemani obrolanku bersama kepala desa.
“Tidak, aku rasa ini sangat penting. Mereka harus lebih tahu dan berwawasan untuk menjadi orang yang lebih sukses. Memang saat ini terlihat percuma bagi kita semua, namun suatu saat mereka harus mengenal dunia luar. Mereka harus sudah siap menghadapi dunia luar dengan mempelajarinya terlebih dahulu,” jelasku kepada Ul Saka. Ul Saka masih terdiam dan memikirkan sesuatu. Lima menit kami terdiam, sesepuh tadi hanya menatap Ul Saka sampai Ul Saka membuka mulutnya.
“Aku percaya kepada anda, Pak Arif. Silahkan anda mendidik anak-anak desa ini agar lebih maju nantinya,” jawabnya sambil tersenyum kepadaku lalu berpaling dan tersenyum kepada sesepuh disebelahnya.
“Terima kasih banyak tuan,” jawabku sambil pamit meninggalkan mereka. Aku keluar dari tempat itu dan mulai memikirkan bagaimana aku harus memulainya. Aku tak punya peralatan apa pun untuk mengajar kecuali beberapa buku SD yang aku bawa dari tempatku mengajar. Aku sangat bingung sekali.
Dalam kebingungan itu aku pergi menuju pantai untuk melihat laut sambil memikirkan hal-hal tersebut. Hobiku adalah memainkan uang receh dengan ibu jariku. Setelah lama memainkan, aku tak sengaja menjatuhkan uang recehku ke lautan pasir putih yang kupijak. Refleks akupun mengambilnya, tapi saat mengambilnya aku terkejut. Dan dari situ aku berpikir, aku sepertinya tidak jadi meminjam pondok desa untuk mengajar, tetapi aku akan menjadikan pantai nan indah ini sebagai ruang kelas.
Esok harinya, saat siang menjelang, aku pergi ke pantai sambil membawa buku, dan tongkat kayu. Aku siap, dan sangat siap mengajar. Dengan mantap aku melangkah melewati rerumputan tinggi. Dalam pikiranku paling hanya sedikit yang datang untuk menjadi muridku. Mungkin saja lima, atau bahkan kurang dari itu. Karena hampir sebagian besar masyarakat desa tidak mau anaknya bersekolah karena harus membantu mereka bekerja.
Tapi betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat ada lebih dari lima anak berkumpul disitu. Kuhitung dalam hati, jumlahnya ada dua belas anak. Sungguh keajaiban, dan sangat di luar dugaanku. Tak kusangka banyak orang tua yang berubah pikiran. Kuyakin kepala desa telah menemui mereka tadi malam, dan memberi penjelasan kepada mereka akan pentingnya pendidikan. Dan aku sangat bersyukur karena kepala desa itu berhasil menaklukan hati masyarakatnya. Sungguh betapa besar peran dari seorang pemimpin di desa ini.
Aku mendekati mereka yang telah menungguku sambil bermain-main kerang dipasir. Kulihat ada yang jangkung, pendek, tambun, dan ada dua yang aku lihat agak spesial.
“Hai!” sapaku kepada mereka, dan mereka pun terkejut sambil tersenyum melihat kedatanganku, terutama yang spesial dua itu. Mereka pun berbanjar di depanku.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu lama, sedang apa kalian tadi?” tanyaku sambil melihat kedua anak yang spesial yang berdiri dikedua ujung barisan.
“Sedang main kerang pak,” jawab si jangkung yang berdiri ditengah-tengah.
“Wah, seperti apa itu, kelihatannya menarik,” tukasku sambil tersenyum kepada semua anak, lalu aku bertanya kepada yang jangkung itu, “Namamu siapa?”
“Adri, pak,” jawabnya tegas.
“Kamu?” tanyaku kepada yang tambun yang berdiri disebelah kanan Adri.
“Sonyo,” jawabnya agak halus. Begitu selanjutnya. Aku bergilir menanyai mereka satu persatu, dan mereka menjawab sambil senyum. Begitu selesai, aku menanyai mereka tentang hubungan mereka satu sama lain. Tampaknya masih ada yang belum kenal satu sama lain. Lalu aku membuat nyanyian agar mereka saling kenal seperti ini.
Hai namamu siapa?
Hai rumah kamu dimana?
Namaku ....  Umurku .... ingin jadi kawanmu.
Merekapun riang gembira bernyanyi satu sama lain, termasuk diriku. Saling membalas, sampai semua dari mereka mengenal satu sama lain. Aku melihat kedua anak yang spesial itu juga hanyut dalam kegembiraan yang berhasil aku ciptakan.
Sebelum aku mengajar mereka, aku berpikir bahwa mendongeng sangat bagus untuk awal pertemuan. Akupun mendongengkan sebuah kisah tentang kancil si anak nakal yang mereka belum pernah dengar ceritanya. Dari awal sampai akhir, mereka pun aktif bertanya bergilir tentang apa yang mereka tidak tahu dari apa yang aku sampaikan. Mereka sendiri belum tahu kancil itu apa, seperti apa, dan hidup dimana. Sampai-sampai aku berhasil menenggelamkan mereka ke dalam alur ceritaku itu.
Tak terasa terik matahari membakar kulitku tepat diatas kepalaku. Ceritaku tentang kancilpun selesai. Mereka yang hanyut dalam ceritaku sangat sedih karena ceritaku berakhir. Aku pun harus mengakhiri kelas awalku hari ini dengan berat hati. Masih banyak yang harus aku kerjakan dalam rangka menjalankan perekonomian desa ini. Karena tampaknya masih ada masalah yang menghambat kami dalam maju. Anak-anak itu pun meninggalkanku dengan wajah lesu dan sedih, tapi aku berhasil mengubahnya saat aku bilang begini, “Tenang saja, besok Pak Arif punya yang lebih menarik lagi buat kalian.” Mereka yang menjadi penasaran sangat bersemangat menanti hari esok. Dan akupun harus pergi menuju ke pondok desa untuk menemui beberapa tokoh desa.
Sepulang dari pertemuan bersama tokoh-tokoh desa, aku ke pantai karena tongkat kayuku tertinggal. Setelah itu, aku kembali pulang ke rumah. Tetapi di perjalanan pulang aku merasa aku diikuti oleh seseorang. Rerumputan tinggi yang kulalui semakin meyakinkanku dengan adanya suara gemerisik dari belakangku. Saat aku mempercepat langkahku, gemerisik itupun semakin cepat mengejarku. Aku yang agak takut akan hewan buas akhirnya berlari sekencang mungkin agar sampai di desa itu. Dan saat aku berlari, aku tersandung oleh batu yang cukup besar dan terjatuh ke tanah dengan buku-buku yang kubawa tersebar disekitarku. Kudengar langkah-langkah berat seseorang. Tidak satu orang ternyata, tetapi dua orang, yang melangkah sambil sedikit menyeret-nyeret kakinya. Aku pun semakin siaga akan apapun yang terjadi.

“Hah, ternyata kalian,” kesalku kepada dua anak spesial yang ternyata mengejarku saat aku di jalan pulang, “Ada apa toh?”
“Kami ingin tahu rumah Pak Arif dimana,” tukasnya kurang jelas, tapi setidaknya aku mengerti sedikit apa maksudnya.
“Ya, bolehkan?” kata si Yoko yang bungsu dari dua bersaudara itu. Kata-katanya juga agak kurang jelas. Hal itu mungkin karena kelainan yang mereka miliki sejak lahir dalam berkata, menulis, dan bertingkah. Kasihan sekali melihat tatapan mereka yang penuh percaya kepadaku.
“Ya, boleh. Mari Pak Arif tunjukkan,” ujarku kepada mereka, dan mereka tersenyum.
Akupun menunjukan mereka rumahku yang merupakan bangunan kecil di dekat rumah kepala desa. Mereka kuajak masuk kedalam dan melihat-lihat seisi ruanganku. Dan sungguh mereka terkagum-kagum melihat ruanganku yang isinya hampir dipenuhi lukisan-lukisan yang kubuat selama aku di desa ini untuk memuaskan hobiku yang kugemari sejak kecil ini.
Mereka melihat-lihat sambil memadahkan pujian “Waw”, “Hebat”, dan sebagainya. Mata mereka seperti melihat malaikat atau surga, berbinar dan penuh kekaguman. Kedua anak spesial ini adalah bersaudara, mereka Yoko, si bungsu, dan Kubu, si sulung yang dua tahun diatas Yoko. Aku tak tahu seberapa mereka mengagumiku sebagai guru mereka.
“Pak, ini namanya apa?” tanya Kubu agak kurang jelas mendekatiku sambil memutar-mutar bola matanya dan menjulurkan lidahnya. Sedih aku melihat nasib yang terlukis di raut wajahnya.
“Itu lukisan, nak. Sebuah ide atau karya yang dituangkan melalui alat-alat ini,” jawabku halus sambil menunjukkan beberapa buah kuas dan cat-cat yang berantakan disekitarnya.
“Ini?” tanya Kubu menunjuk kuas, dan alat-alat lainnya satu persatu. Aku pun menjelaskannya satu persatu tanpa berhenti, seperti kereta yang sedang melaju. Pertanyaan demi pertanyaan dari mereka menghujam pikiranku. Dengan daya penyampaianku yang terbatas, sering sekali memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dari mereka. Akhirnya setelah lama aku ditanyai dan menjelaskan, mereka menyatakan tertarik dalam melukis.
Dari situ, setiap sore, aku tak sendiri lagi ke pantai untuk melukis. Karena aku telah berhasil memiliki dua orang asisten baruku, yaitu Yoko, dan Kubu. Mereka telah bersedia untuk mau belajar melukis setiap kali aku ada waktu. Tak pernah mereka absen datang ke sekolahku, dan pelajaran lukisku. Mereka anak yang rajin, ulet, dan penuh semangat walau kekurangan menutupi diri mereka dari luar. Tapi satu yang kuketahui, mereka memiliki sebuah keahlian besar yang kasat oleh mata.
“Nah, sore hari ini, Pak Arif ingin kamu belajar tentang cara menggambar pohon. Ayo, kalian coba,” ujarku kepada keduanya. Merekapun langsung terdiam, dan mulai melihat pohon kelapa disekitarnya. Lalu menyentuh kuas mereka dan menggambarnya. Jari-jari mereka yang lemah mengayun-ayunkan kuas yang dipenuhi warna cat di kanvas yang kutitip dari Pak Alio, seorang nelayan yang ke kota setiap harinya oleh karena desa ini sudah mulai menjalin hubungan perekonomian dengan kota yang agak jauh dari sini.
Dengan cepat, dan gesit, setiap warna terurai indah di atas kanvas tersebut. Kulihat bola mata mereka berputar liar, dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal entah mengapa. Lidah mereka agak terjulur sedikit, dan tangan mereka yang kiri tergantung lipat seperti anjing yang hendak diberi tulang. Aku sedikit takut melihat mereka dengan seksama.
Tak terasa matahari sudah membenamkan diri di ufuk barat. Aku melihat karya mereka, dan terlonjak dalam hati, Astaga! Sungguh aku melihat sesuatu yang tak terduga dari jari-jari manis kedua anak spesial yang kini duduk tersenyum memamerkan giginya yang kuning langsat.
“Waw! Indah! Sangat indah, dan bernilai tinggi. Waw!” tak henti-hentinya aku berkata seperti itu selama memandang dua buah lukisan yang sangat indah walau sedikit agak kurang rapi. Nilai estetika sebuah seni yang patut diacungi jempol yang ada dalam lukisan Yoko, dan Kubu.  Kulihat dari setiap hasil goresan-goresan kuasnya yang indah dan penuh kehidupan. Gambar sebuah pohon bakau yang begitu megah di pinggir pantai. Dan gambar keduanya hampir sama.
“Kalian? Bagaimana bisa hampir sama keduanya ini?” tanyaku masih tak percaya apa yang kulihat dihadapanku ini.
“Tak tahu. Tempat ini kulihat dalam mimpiku tadi malam,” jawab si bungsu, Yoko.
“Ya, sama sepertiku,” tukas Kubu langsung menimpa pernyataan Yoko. Aku bingung dan heran bagaimana bisa hal ini terjadi. Aku merasa mungkin ini halusinasi, atau malah mimpiku sendiri dalam tidurku siang bolong. Kutampar pipi kiriku pelan, tapi tak jua aku bangun. Agak keras, tapi tak terjadi apa-apa. Kucoba sangat keras, tapi sama saja.

Hampir sebulan setelah kejadian itu, aku semakin yakin bahwa kedua anak spesial ini memiliki bakat alami dalam diri mereka. Tak bisa kupercaya memang, Tuhan menganugerahinya sebuah talenta melukis yang unik dalam mereka. Aku pun sebisaku melatih mereka dengan penuh kesabaran. Dan hasilnuya terbukti, hasil yang tadinya kurang rapi, kini kian rapi. Justru mendekati sempurna. Layaknya lukisan maestro Indonesia, Affandi, lukisan itu sangat indah dan menarik. Walau tercipta dari anak-anak yang justru jauh dari normal.
Terkadang aku meneteskan air mata. Di setiap aku melihat hasil karya mereka. Dan anehnya, setiap aku tanya ke mereka idenya darimana, mereka hanya menjawab, dari mimpi. Sangat aneh, dan misterius. Aku pikir mimpi itu jawaban yang main-main, tapi setelah aku meminta mereka bagaimana mereka ketempat itu dalam mimpi mereka. Mereka menceritakan cerita yang sama yang mereka alami. Tetapi berbeda alam satu sama lain. Aneh, sungguh di luar akal sehat memang. Mereka unik dan spesial bagiku. Aku sempat bertanya-tanya ke tetangga-tetangga, tentang keduanya, tapi tak ada yang tahu dimana mereka tinggal, dan siapa orang tua mereka. Tapi ada beberapa yang menyebutkan mereka tinggal di kaki bukit sebelah selatan.
Sampai-sampai suatu saat, aku tak melihat mereka berdua datang lagi kepadaku. Sekitar tiga hari sudah mereka tidak datang untuk belajar melukis kepadaku. Memang mereka sudah sangat pandai sekarang, melukisnya malah jauh diatasku. Aku malah banyak belajar dari mereka.
Seratus hari lamanya aku menanti, dan tak ada tanda kehadirannya lagi. Aku mengajar sepuluh anak tersisa di suatu pagi. Dan saat aku mengajar di pantai, tiba-tiba seorang tua renta datang kepadaku dengan membawa sebuah bingkisan persegi panjang yang dibungkus oleh dedaunan. Ia mendekatiku dan bertanya.
“Saudara, Pak Arif?” suaranya agak serak basah.
“Ya, ini ada surat dari murid bapak, Yoko dan Kubu. Hasil pengajaran bapak tentang tulis menulis membuat mereka bisa meninggalkan sesuatu buat bapak sebelum mereka pergi.”
“Oh ya? Coba saya lihat,” kataku sambil aku membuka gulungan kertas yang lingset itu dan membukanya. Tulisan-tulisan berantakan yang tertulis dari cat air aku baca dengan penuh seksama.
Pak Arif, ini kami Yoko dan Kubu. Sudah beberapa bulan, kami merasakan waktu kami begitu indah, bisa melukis apa yang kami mimpikan setiap malam. Hanya itu keinginan kami yang terakhir, yang kami ingin lakukan bersama orang yang kami anggap seperti ayah kami sendiri, yaitu anda. Mungkin segala kekurangan ini harus membuat kami pergi jauh, dan mungkin tak akan kembali untuk selamanya. Tapi kami percaya, bahwa lukisan-lukisan kami dapat mengenangkan bapak akan kami. Dan ini kami persembahkan hasil kami yang terakhir. Sebuah lukisan yang kami buat bersama dalam satu kanvas.  Terima kasih juga untuk pendidikan yang bapak berikan dengan ini kami bisa menulis surat untuk bapak. Salam, Yoko dan Kubu. Kami yang sudah tenang dalam mimpi.
Tak kusadari air mata berlinang di kelopak mataku. Aku yang tadinya tersenyum karena mendapat kabar dari mereka kini merasa gemetar. Lemas sekali tubuhku, sampai-sampai aku tak kuasa membendung tangisanku. Sosok yang penuh semangat, dan tak kenal menyerah walau segala keterbatasan menutupi mereka, kini pergi, dan tak akan mengisi sore-soreku melukis bersama mereka.

Satu tahun kemudian, aku yang sudah kembali ke Yogyakarta menghadiri sebuah event pameran lukisan seluruh Indonesia. Aku berdiri di sebuah lukisan yang dipajang besar sekali disalah satu ruang pameran tersebut. Aku menatap gambar yang sangat amat menakjubkan, sebuah taman yang hijau dan penuh dengan pepohonan rimbun. Air sungai mengalir seolah-olah nyata. Disalah satu rantingnya, sepasang manusia telanjang duduk menikmati segarnya buah yang dihasilkan salah satu pohon di taman itu. Ditengah-tengah taman itu berkumpul danau dari empat sungai yang menuju tengah taman. Langit biru menjulang, dengan awan memayungi awan dari sinar matahari. Burung-burung berterbangan dari pegunungan menyusuri lembah. Sebuah taman yang indah sekali.
Aku lihat dipojok kanan bawah aku melihat sebuah kotak kecil tempat orang yang membuat lukisan itu menulis catatan kecil. Tulisan-tulisan itu tergores halus dan sangat penuh dengan kesedihan mendalam.
Kami sudah ada disini bersamaNya.
Yoko dan Kubu.
Akupun menangis dan bersujud setelah membaca tulisan tersebut. Dalam menangis aku bertanya, darimana Yoko dan Kubu tahu taman firdaus. Sungguh misterius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar