Hujan rintik membasahi bumi. Dari embun yang
mengkilap di awan, ia terjatuh menumbuk pasir-pasir pantai yang putih di
pinggir sebuah desa. Diiringi oleh gema lonceng dalam perahu yang menggetarkan
angin yang turun dari pegunungan .
Petang menjelang. Seharusnya kedatanganku disambut
oleh sunset yang indah di pantai ini,
tapi apa daya, alam telah menyulapnya menjadi gelap gulita. Aku dengar
halilintar menggelegar dimana-mana, menandakan bahwa hujan akan segera turun
sangat deras. Angin yang cukup keras, membuatku harus menyipitkan mataku. Aku
diatas perahu kayu kecil yang terombang-ambing oleh ombak yang cukup besar sore
itu.
“Wah, tampaknya akan hujan besar ini, pak,”
tukasku sambil menoleh ke belakang ke arah seorang nelayan tua yang perahunya
aku tumpangi ini. Nelayan yang sudah agak tua itu hanya tersenyum sambil
mendayung perahu ini dengan sepenuh tenaga.
“Ya, anda kurang beruntung Pak Arif, seandainya
bapak datang kemarin anda akan melihat sunset
yang indah dari pantai Lombok ini,” sahut anak seorang nelayan yang mendayung
di bagian depan perahu. Ia masih muda, berperawakan besar, gagah, dan pekerja
keras. Namun dari raut wajahnya yang ramah, ia kelihatannya seorang yang baik
sekali.
“Yah, sayang sekali ya! Andai saja kapalku kemarin
tak tertunda, aku akan merasakan surga di daerah timur ini,” sesalku sambil
tersenyum.
Riak air laut terus menampar sisi-sisi perahu
kami. Kami pun hanya mampu berusaha sekuat tenaga agar tetap stabil, akupun
membantu ayah dan anak ini dengan membuang air laut yang masuk ke dalam perahu.
Tak lama kemudian, kami pun sampai di pinggir
pantai. Pantai yang indah dengan pasir putih dan pemandangan pegunungan yang
luar biasa di sekitarnya. Dengan awan hitam memayungi pulau ini, sungguh
menakjubkanku layaknya aku melihat lukisan mahakarya sang pelukis terkenal.
Inilah Indonesia bagian Timur yang aku cintai. Indah, dan menawan.
Aku baru pertama kalinya ke Pulau Lombok, pulau
yang memiliki seribu keindahan khas Indonesia Timur. Dari Jawa aku menempuh
perjalanan yang cukup lama.Aku harus naik turun kapal antar pulau untuk sampai
ke pulau yang mirip firdaus ini. Aku tak mengajak istriku tercinta karena ini
adalah misi pekerjaanku sebagai seorang guru.
Kami yang sudah di pinggir pantai lalu
menyandarkan perahu kami. Nelayan tua dan anaknya yang mengurus semuanya,
sedangkan aku turun dan menurunkan sejumlah tas yang kubawa.
Angin yang bertiup kencang membuat kami harus
menyipitkan mata, dan berhati-hati. Hujan yang semakin deras membuat tasku yang
kubawa basah kuyup. Tapi untungnya aku sudah memperkirakan hal ini, jadi isinya
tidak akan basah semua. Pohon kelapa yang miring-miring dipinggir pantai
dikoyakan oleh angin sehingga salah satu dari daunnya terlepas dan hampir saja
mengenaiku. Melihat itu sang nelayan tua tersenyum, dan berkata, “Hai, pak.
Tampaknya engkau disambut ramah oleh Yang empunya pulau ini.” Dan aku
membalasnya dengan senyuman tetapi sejujurnya aku tak mengerti apa yang ia
katakan.
Perjalanan ternyata masih belum berakhir. Bersama
dengan nelayan tua dan anaknya itu aku masih harus melewati semak belukar yang
cukup rimbun untuk mencapai sebuah desa. Aku yang sudah agak lelah hanya
membawa dua tas dari empat tas yang kubawa. Tenagaku hampir habis, tapi
kupaksakan untuk sampai disana.
Setelah lima belas menit menyusuri semak belukar dan pepohonan yang rindang, aku sampai di sebuah desa yang kecil. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu-kayu yang sederhana. Tampak orang-orang di dalam melongok dari jendela karena suara langkahku yang kasar menggema di seluruh penjuru desa. Kulihat mata-mata mereka memancarkan keheranan. Dan setelah tak lama kemudian, kami berada di pusat desa itu. Aku lihat seorang tua berdiri di depan rumah yang cukup besar. Rumah tersebut kelihatannya rumah seorang pemimpin desa ini. Aku masih belum tahu desa ini desa apa, karena aku hanya diberi tahu oleh temanku yang merupakan teman nelayan tua tadi tentang kritisnya pendidikan di desa ini. Padahal di perahu tadi aku sempat menanyakan kepada nelayan tua itu, desa apa yang akan saya datangi. Dia hanya menjawab Desa Pedalaman setelah itu tersenyum seperti telah menipuku.
Setelah lima belas menit menyusuri semak belukar dan pepohonan yang rindang, aku sampai di sebuah desa yang kecil. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu-kayu yang sederhana. Tampak orang-orang di dalam melongok dari jendela karena suara langkahku yang kasar menggema di seluruh penjuru desa. Kulihat mata-mata mereka memancarkan keheranan. Dan setelah tak lama kemudian, kami berada di pusat desa itu. Aku lihat seorang tua berdiri di depan rumah yang cukup besar. Rumah tersebut kelihatannya rumah seorang pemimpin desa ini. Aku masih belum tahu desa ini desa apa, karena aku hanya diberi tahu oleh temanku yang merupakan teman nelayan tua tadi tentang kritisnya pendidikan di desa ini. Padahal di perahu tadi aku sempat menanyakan kepada nelayan tua itu, desa apa yang akan saya datangi. Dia hanya menjawab Desa Pedalaman setelah itu tersenyum seperti telah menipuku.
“Selamat datang, Pak Arif! Saya adalah kepala desa
disini. Saya menyambut anda di Desa Pedalaman ini mewakili orang-orang desa
ini. Maafkan saya apabila anda harus datang ke tempat ini dengan sambutan cuaca
yang kurang menyenangkan,” sambut orang itu saat aku sampai di hadapannya
dengan logat khas orang-orang timur. Dan sambutan ini meyakinkanku bahwa nama
desa ini memang Desa Pedalaman.
“Ya, terima kasih banyak atas sambutan bapak.
Tidak apa, memang alam bukanlah kehendak kita manusia,” jawabku penuh hormat.
“Engkau pastinya telah menempuh perjalanan yang
cukup jauh dan melelahkan. Mari kita masuk ke pondok desa kami ini,” ajaknya
sambil menaiki undak-undakan di depan pintu pondok itu. Matanya yang biru menatapku
ramah.
“Ayo, pak,” seru anak nelayan tua yang kapalnya
aku tumpangi. Ia mendorongku sedikit sambil membawa dua tasku.
Di dalam itu kami berbicara banyak. Sejak awal
disambut aku merasa seperti di Godean tempatku tinggal di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Aku merasa seperti di rumahku. Mereka sangat ramah. Aku disuguhi
oleh makanan khas desa ini yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh
disekitar desa. Mereka masih sangat primitif dan agak tertinggal. Belum ada
listrik, dan pengelolaan air desa. Tapi satu hal yang sangat hebat. Disini tak
ada polusi udara sama sekali.
Sang kepala desa yang menyambutku tadi bernama Ul
Saka. Entah mengapa namanya agak terdengar unik di dengar olehku. Ia seorang
sesepuh yang masih tidak terlalu tua, berbadan tegap, dan sangat ramah. Memang
dia pemimpin yang hebat dari segi penampilan luar yang aku lihat. Ia bercerita
banyak tentang desanya. Dari sejarah desa ini hingga pendidikan generasi desa
ini. Sungguh menyedihkan, sekolah pun tak ada di daerah situ. Dan sepertinya desa
ini desa yang tertutup karena letaknya yang dilindungi pegunungan di sebuah
pulau yang berhutan agak belantara. Tapi untungnya, temanku Lamaka yang tinggal
di Yogyakarta kini, berasal dari sini dan ia ingin aku membantu kemajuan
anak-anak desa ini. Yang masih menjadi misteri dalam hatiku ialah, mengapa
Lamaka bisa menjadi “orang” di kota Yogya?
“Mungkin anda bingung ya Pak Arif tentang
bagaimana Lamaka bisa sampai di kota tempat dimana anda tinggal?” tanya Kepala
Desa Ul Saka kepadaku, dan entah mengapa dia bisa tepat sekali membaca jalan
pikiranku.
“Ya, Pak kepala desa. Benar sekali, itu masih
menjadi pertanyaan di pikiran saya,” jawabku dengan santun dan penuh hormat.
“Tidak pernahkah ia cerita kepada anda?” tanyanya
kembali.
“Sepertinya belum tuan.”
“Sayang sekali. Padahal ceritanya cukup
menyedihkan. Begini ceritanya: Dahulu ayah Lamaka adalah nelayan. Nelayan yang
hebat dan kuat, kami disini menyebutnya Sang Pelaut Timur. Dengan kegigihannya,
ikan yang ia peroleh setiap harinya berlimpah, kebutuhan desa akan bahan
panganpun terpenuhi. Namun ia gundah, karena ia takut anaknya hanya menjadi
penerusnya. Ia ingin anaknya sukses dan menjadi orang yang lebih hebat
daripadanya. Setelah berumur 10 tahun, Lamaka diajak oleh ayahnya pergi
berlayar. Ibu Lamaka telah tiada dari Lamaka lahir. Ayahnya sebelum pergi
berpesan kepadaku seperti ini, “Ul Saka yang terhormat, aku akan berlayar jauh
ke kota di seberang lautan. Entah dimana itu, aku akan menjadikan Lamaka
sebagai kebanggaan desa ini suatu saat. Dan aku akan menyampaikan pesan
seandainya aku sudah sampai disana.” Begitu serunya kepadaku, lalu ia
menghilang bersama Lamaka dari desa ini. Berbulan-bulan kemudian, aku tak
mendapat kabar darinya. Yang kutahu badai sering datang ke lautan selama dekade
tersebut. Setelah 15 tahun kemudian, seorang pemuda datang kepadaku dengan
membawa ransel dan pakaian yang rapi. Dari matanya, aku mengenal bahwa pemuda
itu adalah Lamaka. Ia menceritakan bahwa ayahnya telah membawanya ke suatu
daerah, ia menyebutnya Bakli.”
“Bakli? Bukankah Bali tuan?” selaku karena aku
sadar ia menyebutkan Bali salah.
“Ooo. Ya, mungkin saja itu, Pak Arif,” sahutnya,
lalu ia melanjutkan kisahnya,”Setelah ia sampai disana, ayahnya sakit keras,
karena telah menerjang puluhan kali badai di lautan. Dan sebulan Lamaka disana,
ayahnya harus meninggalkan Lamaka untuk selamanya. Lamakapun diasuh oleh teman
ayahnya yang kebetulan bertemu disana. Ia disekolahkan disana dan mendapat
ilmu. Ia kemudian merantau ke kota anda untuk kuliah di universitas negeri
disana. Setelah lama, ia memutuskan
pulang kemari, dan akhirnya sampai di desa. Ia menceritakan bahwa ada temannya
yang sangat pandai dan mau berbagi ilmu, seorang guru. Ia menyebutkan nama anda
kemudian. Dan katanya anda ingin sekali mengajar di daerah yang tertinggal demi
kemajuan pendidikan di daerah. Hingga pada akhirnya anda kemari dan ada
dihadapan saya.”
“Perjuangan seorang ayah yang tak sia-sia dan
sungguh mengaggumkan sekali,” pujiku sambil berpikir kritis betapa hebatrnya
kisah hidupn yang temanku alami. Tak kusangka, Lamaka memiliki kisah hidup
seperti ini.
“Ya, maka dari itu untuk mewujudkan mimpi dari
Lamaka untuk memajukan daerah ini, bersediakah anda membagi ilmu anda untuk
anak-anak disini?”
“Ya, saya bersedia, tuan,” jawabku tegas dan hal
itu membuat kepala desa tersebit senang sekali.
Malam pertama disana aku beristirahat total karena
perjalananku yang sangat melelahkan. Aku beristirahat di bangunan kecil dekat
rumah kepala desa. Dan selama aku di desa ini sepertinya aku akan tinggal
disini. Walau tak terlalu nyaman, aku tetap tidur dengan nyenyak.
Pagi hari yang cerah aku bangun dan langsung
menuju pantai. Sungguh seperti masih di dunia mimpi aku melihat betapa agungnya
pemandangan yang aku lihat. Samudera yang kupandang habis ditelan sang cakrawala.
Matahari mulai bercahaya dari ufuk timur. Pegunungan megah bak pilar-pilar
langit yang dihiasi hutan-hutan belantara. Langit biru cerah menghapus untaian
awan hitam yang tadi malam menutupi seluruh angkasa. Aku merasa seperti didalam
mahakarya lukisan sang maestro Indonesia Affandi. Aku merasa aku melihat tanah
firdaus yang nan surgawi.
“Indah bukan pak Arif?” tanya sang kepala desa
kepadaku yang membuatku terbangun dari renunganku tadi.
“Ya, alangkah indahnya sampai-sampai saya merasa
dalam firdaus,” tukasku sambil menghirup udara segar.
”Firdaus? Apa itu?” tanya kepala desa ini. Jelas
dia tidak tahu menahu tentang firdaus, sebab ia masih menganut Dinamisme.
Sepertinya agama manapun di dunia ini belum menyentuh sama sekali pulau ini.
“Surga tuan,” tukasku mengartikannya lebih mudah.
“Oo. Itu yang anda maksud Pak Arif. Ya, tapi saya
kira, surga pasti lebih indah daripada desa ini,” tukasnya sambil tersenyum dan
meninggalkan saya sendiri di pantai itu.
Siangnya aku berkeliling desa. Aku masih bingung
apa yang aku lakukan sebelum mengajar anak-anak disini. Cari murid tukasku dalam hati. Tetapi sebelum aku mencari murid,
aku hendaknya berjalan-jalan melihat-lihat kebiasaan masyarakat desa ini sehari
hari, dan melihat anak-anak kecil di antara mereka. Tiba-tiba saja saat aku
berjalan kertas yang kubawa terbang ke arah seorang anak kecil yang kupikir
umurnya tak lebih dari 10 tahun. Anak itu bingung dengan apa yang telah ia
dapatkan itu, sepertinya ia tadi lagi diam, dan merenung. Lalu akupun pergi
mendekatinya, dan sangat terkejutlah aku.
“Ini pemberian! Pemberian Roh! Mamak!” teriaknya
sambil berlari menuju rumahnya. Akupun kaget sekaligus bereaksi ingin tertawa,
tapi aku berhasil menahannya. Tak lama kemudian ibu anak tadi keluar dan
berteriak-teriak memanggil tetangga-tetangganya. Dan dalam sekejap di sekitarku
berdiri ramai sekali orang-orang berkumpul.
“Hai, kawan-kawan. Anakku tadi sedang merenungkan
sesuatu kepada roh nenek moyang kita. Tentang akan baikkah desa kita ini besok?
Lalu, saat ia termenung ia tertampar oleh benda ini. Ini adalah wangsit dari
nenek moyang yang ia berikan kepada anakku,” cerita ibu itu panjang lebar, aku
hampir tertawa mendengar hal itu.
“Apa itu Mondo? Beri tahu kami!” teriak salah satu
ibu diantara orang banyak itu.
“Ya apa itu?” tukas yang lain.
“Aku tak tahu, ini seperti kayu halus tapi
coraknya aneh sekali. Dan ada gambar nenek kita semua yang ada disini!”
“Coba saya artikan,” kata seorang pria yang maju
mendekati ibu anak tadi. Ia mengambil kertasku dan melihatnya sambil mengangkatnya
tinggi-tinggi. Lalu ia melanjutkan,“Ya benar, ada sang nenek disana. Ia sedang
menenun sesuatu. Ah, tapi apa ini?” Ia terkejut akan sesuatu di kertasku lalu
menurunkannya dan melihatnya lagi.
”Loh kemana dia? Kemana kakek tadi? Ada kakek tadi disini?” ia bertanya kepada ibu itu sambil terheran-heran.
”Loh kemana dia? Kemana kakek tadi? Ada kakek tadi disini?” ia bertanya kepada ibu itu sambil terheran-heran.
“Ini kakeknya,” jawab ibu itu sambil menunjuk di
balik kertas.
“Bukan, tadi ia ada disini. Sekarang hilang
sudah,” katanya sambil cemas, dan mencari-cari gambar kakek yang ia lihat di
kertasku itu. Aku sudah tak tahan untuk tertawa, aku tertawa kecil dan
mendekati kedua orang itu.
“Maaf, pak. Jikalau anda ingin melihat sang kakek
itu, anda angkat tinggi-tinggi macam anda mengangkatnya tadi,” kataku sambil
tersenyum. Pria tadi langsung mengangkat kertasku itu setinggi-tingginya
seperti tadi. Dan betapa terkejutnya ia.
“Wah, itu dia Mondo! Sang kakek yang aku lihat
tadi,” serunya senang sekali. Ibu anak tadi juga melihatnya begitu juga
beberapa tetangga lainnya yang mendekat. Mereka takjub seperti aku melihat
kucing bisa terbang. Mereka terheran-heran kepadaku, dan akhirnya aku melihat
semua mata memandang kepadaku.
“Bagaimana anda tahu sang kakek akan muncul bila
Alon mengangkatnya tinggi-tinggi?” tanya ibu anak tadi kepadaku.
“Karena aku yang punya kertas itu,” tukasku lembut
sambil tersenyum. Mereka heran melihatku menjawab semua itu, dan aku rasa
mereka kira aku berbohong. Tapi ternyata sebaliknya, ibu anak tadi langsung
bersujud d untukku, diikuti oleh orang-orang lain disekitarnya. Aku pun tertawa
dalam hati. Padahal hanya selembar uang lima ribuan. Tak kusangka aku tertawa
semakin keras dalam hatiku. Ternyata uang bisa membuat seseorang menjadi dewa
ya. Tak di kota, juga tak di desa. Tapi barter justru lebih baik, aku takut
kalau nanti mereka disini tahu apa arti uang sebenarnya.
Sorenya aku harus menemui sang kepala desa, karena
setelah kejadian tadi siang aku ingin “diwawancarai” olehnya.
“Pak Arif, aku telah mendengar kisahmu hari ini,
dari masyarakat desaku ini. Boleh aku bertanya apa itu?” tanya sang kepala desa
sambil menunjuk uangku.
“Uang pak kepala, sesuatu untuk memperoleh barang.
Kita harus menukarnya dengan ini,” jawabku sambil menjelaskan sedikit dalam
pengertian mereka.
“Apa benda seperti ini bisa ditukarkan dengan
benda apa saja?” tanyanya kembali terheran-heran.
”Ya.”
”Ya.”
“Saya tukar kuda bisa?”
“Bisa.”
”Sapi.”
”Sapi.”
“Bisa, keadilanpun bisa anda beli,” tukasku sambil
tertawa kecil. Iapun ikut tertawa.
“Maksud anda?” tanyanya heran. Aku salah
menjerumuskan ia ke masalah penyalahgunaan uang.
“Tidak, saya hanya mengada-ada tentang membeli
keadilan,” jawabku.
“Lalu, anda bawa banyak uang itu?” tanya kepala
desa itu.
“Tidak terlalu, aku hanya membawa secukupnya tuan.
Memang mengapa?”
“Bisa ajarkan kami menggunakannya?”
“Boleh, dengan senang hati.”
Malamnya, masyarakat berkumpul di pondok desa
untuk mendengarkan penjelasanku. Sangat sulit untuk menjelaskannya. Lebih sulit
daripada aku harus mempresentasikan skripsiku di kuliah. Aku terkadang
kehabisan kata dan sulit mencari bahasa yang lebih mudah untuk mereka pahami.
Tetapi setiap aku menatap wajah para penduduk desa, aku menemukan wajah mereka
memancarkan ketakjuban terhadap ceritaku. Seolah-olah mereka seperti anak kecil
yang kudongengkan cerita-cerita zaman dahulu.
Setelah aku mempresentasikan tentang cara-cara
berdagang, aku memberikan mereka masing-masing contoh uang dari uang yang aku
bawa. Mereka ternganga sambil berbisik-bisik satu sama lain saat mereka
memegang dan memerhatikan uang yang aku berikan kepada mereka.
“Dengan kertas ini kita bisa membeli sapi? Astaga!
Orang luar ini memang luar biasa,” bisik seorang sesepuh dengan sesepuh yang
lain dengan diperhatikan dengan anak-anak muda di dekat mereka. Aku hanya
tersenyum saat mendengarnya sekilas.
Esok harinya, aku mengajak semua anak muda desa
untuk menjual segala hasil pertanian dan berternak mereka. Mereka sebelumnya
tak pernah menjual apapun ke luar desa ini. Mereka tak tahu bagaimana kehidupan
di dunia luar. Aku tak tahu apakah pemerintah tahu akan keberadaan desa ini.
Karena mereka sendiri tak terlalu tahu apa itu Indonesia. Kelihatannya aku
harus berjuang untuk membuat desa ini dikenal oleh masyarakat Lombok, dan
bahkan masyarakat Indonesia.
Aku pergi ke sebuah pasar di daerah Awang yang
berada di sebelah tenggara Mataram. Pasar yang tak terlalu ramai ini dipenuhi
oleh para nelayan dan peternak. Karena sebagian masyarakat di Lombok adalah
peternak dan nelayan. Tak sedikit juga yang menjadi petani perkebunan. Aku
mengajarkan mereka tentang jual beli disana. Kami menjual beberapa ikan, daging,
dan hasil kelapa sawit. Dan hasil yang kami peroleh lumayan banyak.
Kami pulang sore harinya dengan penuh keceriaan.
Hasil jerih payah mereka terbayarkan. Walau mereka sedikit bingung mau diapakan
uang yang mereka gunakan. Tapi aku bilang kepada mereka bahwa esok hari akan
aku jelaskan. Mereka menjawab dengan tersenyum.
Malamnya kami semua berkumpul kembali, untuk
membagikan para petani dan nelayan sejumlah uang hasil penjualan kami. Malam
itu juga kami merencanakan kegiatan bersama yang besok akan kami lakukan. Kami
berencana untuk menyebarkan sisa uang yang kami peroleh kepada para penduduk
dengan membeli apa yang mereka hasilkan dari pekerjaan mereka masing-masing.
Esok harinya akupun mengatur semuanya, dibantu
dengan masyarakat sekitar aku menghidupkan jalan perekonomian di desa mereka.
Mereka masih ragu-ragu dan belum terbiasa. Bahkan ada yang menolaknya
mentah-mentah. Tapi menurutku wajar saja, sesuatu yang baru tidak selamanya
disambut baik. Untung saja sebagian masyarakat mendukung apa yang sudah menjadi
keputusan sang kepala desa untuk menggunakan uang dalam jual beli barang.
Mungkin karena barter memiliki beberapa kendala dan tidak terlalu praktis buat
mereka.
Para sesepuh desa sebagian besar menolak cara
uang, karena mereka menganggap uang menghapus kebiasaan nenek moyang mereka,
dan berartiya tidak menghormati roh-roh nenek moyang mereka. Namun beberapa
sesepuh menyetujui cara uang ini. Menurut mereka mungkin saja uang adalah
sesuatu yang nenek moyang mereka tunggu-tunggu dalam hal jual beli, karena
barter yang dahulu berkembang itu menemukan beberapa kendala semacam tadi.
Mereka juga mengerti atas kebiasaan nenek moyang mereka, namun mereka
berpendapat bahwa nenek moyang mereka akan lebih bangga apabila desa ini lebih
maju dan lebih mensejahterakan penduduknya. Mereka percaya dan tetap memegang
teguh adat namun harus pandai-pandai menyesuaikan zaman. Tak mungkin mereka
harus tetap dalam kekunoan peradaban.
Selama berbulan-bulan aku berjuang untuk
menghidupkan perekonomian di desa ini. Dan beberapa pedagang mulai berdatangan
ke pulau kami. Pulau yang tadinya tidak tahu peradaban luar kini jadi salah
satu sumber produksi perikanan laut dan pertanian untuk daerah selatan Lombok.
Serambi aku memajukan perekonomian di desa ini,
aku mengajar anak-anak desa ini agar mereka lebih pandai. Anak-anak desa ini
sangat memprihatinkan dalam bidang pendidikan. Mereka tak bisa membaca,
menulis, dan kemampuan berhitung mereka masih sangat kurang. Aku sedih melihat
naasnya pendidikan di desa yang siap maju ini. Aku lalu menemui Ul Saka untuk
meminta izin memakai pondok desa sebagai sekolah siang harinya.
“Bagaimana tuan? Bisakah saya menggunakannya?”
tanyaku setelah aku menjelaskan segalanya tentang keprihatinanku terhadap
anak-anak desa ini.
“Tapi apa gunanya? Toh sebagian besar dari mereka
nantinya akan menjadi seperti orang tua mereka,” tukas seorang sesepuh yang
menemani obrolanku bersama kepala desa.
“Tidak, aku rasa ini sangat penting. Mereka harus
lebih tahu dan berwawasan untuk menjadi orang yang lebih sukses. Memang saat
ini terlihat percuma bagi kita semua, namun suatu saat mereka harus mengenal
dunia luar. Mereka harus sudah siap menghadapi dunia luar dengan mempelajarinya
terlebih dahulu,” jelasku kepada Ul Saka. Ul Saka masih terdiam dan memikirkan
sesuatu. Lima menit kami terdiam, sesepuh tadi hanya menatap Ul Saka sampai Ul
Saka membuka mulutnya.
“Aku percaya kepada anda, Pak Arif. Silahkan anda
mendidik anak-anak desa ini agar lebih maju nantinya,” jawabnya sambil
tersenyum kepadaku lalu berpaling dan tersenyum kepada sesepuh disebelahnya.
“Terima kasih banyak tuan,” jawabku sambil pamit
meninggalkan mereka. Aku keluar dari tempat itu dan mulai memikirkan bagaimana
aku harus memulainya. Aku tak punya peralatan apa pun untuk mengajar kecuali
beberapa buku SD yang aku bawa dari tempatku mengajar. Aku sangat bingung
sekali.
Dalam kebingungan itu aku pergi menuju pantai
untuk melihat laut sambil memikirkan hal-hal tersebut. Hobiku adalah memainkan
uang receh dengan ibu jariku. Setelah lama memainkan, aku tak sengaja menjatuhkan
uang recehku ke lautan pasir putih yang kupijak. Refleks akupun mengambilnya,
tapi saat mengambilnya aku terkejut. Dan dari situ aku berpikir, aku sepertinya
tidak jadi meminjam pondok desa untuk mengajar, tetapi aku akan menjadikan
pantai nan indah ini sebagai ruang kelas.
Esok harinya, saat siang menjelang, aku pergi ke
pantai sambil membawa buku, dan tongkat kayu. Aku siap, dan sangat siap
mengajar. Dengan mantap aku melangkah melewati rerumputan tinggi. Dalam
pikiranku paling hanya sedikit yang datang untuk menjadi muridku. Mungkin saja lima,
atau bahkan kurang dari itu. Karena hampir sebagian besar masyarakat desa tidak
mau anaknya bersekolah karena harus membantu mereka bekerja.
Tapi betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat
ada lebih dari lima anak berkumpul disitu. Kuhitung dalam hati, jumlahnya ada
dua belas anak. Sungguh keajaiban, dan sangat di luar dugaanku. Tak kusangka
banyak orang tua yang berubah pikiran. Kuyakin kepala desa telah menemui mereka
tadi malam, dan memberi penjelasan kepada mereka akan pentingnya pendidikan.
Dan aku sangat bersyukur karena kepala desa itu berhasil menaklukan hati
masyarakatnya. Sungguh betapa besar peran dari seorang pemimpin di desa ini.
Aku mendekati mereka yang telah menungguku sambil
bermain-main kerang dipasir. Kulihat ada yang jangkung, pendek, tambun, dan ada
dua yang aku lihat agak spesial.
“Hai!” sapaku kepada mereka, dan mereka pun
terkejut sambil tersenyum melihat kedatanganku, terutama yang spesial dua itu.
Mereka pun berbanjar di depanku.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu lama, sedang
apa kalian tadi?” tanyaku sambil melihat kedua anak yang spesial yang berdiri
dikedua ujung barisan.
“Sedang main kerang pak,” jawab si jangkung yang
berdiri ditengah-tengah.
“Wah, seperti apa itu, kelihatannya menarik,”
tukasku sambil tersenyum kepada semua anak, lalu aku bertanya kepada yang
jangkung itu, “Namamu siapa?”
“Adri, pak,” jawabnya tegas.
“Kamu?” tanyaku kepada yang tambun yang berdiri
disebelah kanan Adri.
“Sonyo,” jawabnya agak halus. Begitu selanjutnya.
Aku bergilir menanyai mereka satu persatu, dan mereka menjawab sambil senyum.
Begitu selesai, aku menanyai mereka tentang hubungan mereka satu sama lain.
Tampaknya masih ada yang belum kenal satu sama lain. Lalu aku membuat nyanyian
agar mereka saling kenal seperti ini.
Hai
namamu siapa?
Hai
rumah kamu dimana?
Namaku
.... Umurku .... ingin jadi kawanmu.
Merekapun riang gembira bernyanyi satu sama lain,
termasuk diriku. Saling membalas, sampai semua dari mereka mengenal satu sama
lain. Aku melihat kedua anak yang spesial itu juga hanyut dalam kegembiraan
yang berhasil aku ciptakan.
Sebelum aku mengajar mereka, aku berpikir bahwa
mendongeng sangat bagus untuk awal pertemuan. Akupun mendongengkan sebuah kisah
tentang kancil si anak nakal yang mereka belum pernah dengar ceritanya. Dari
awal sampai akhir, mereka pun aktif bertanya bergilir tentang apa yang mereka
tidak tahu dari apa yang aku sampaikan. Mereka sendiri belum tahu kancil itu
apa, seperti apa, dan hidup dimana. Sampai-sampai aku berhasil menenggelamkan
mereka ke dalam alur ceritaku itu.
Tak terasa terik matahari membakar kulitku tepat
diatas kepalaku. Ceritaku tentang kancilpun selesai. Mereka yang hanyut dalam ceritaku
sangat sedih karena ceritaku berakhir. Aku pun harus mengakhiri kelas awalku
hari ini dengan berat hati. Masih banyak yang harus aku kerjakan dalam rangka
menjalankan perekonomian desa ini. Karena tampaknya masih ada masalah yang
menghambat kami dalam maju. Anak-anak itu pun meninggalkanku dengan wajah lesu
dan sedih, tapi aku berhasil mengubahnya saat aku bilang begini, “Tenang saja,
besok Pak Arif punya yang lebih menarik lagi buat kalian.” Mereka yang menjadi
penasaran sangat bersemangat menanti hari esok. Dan akupun harus pergi menuju
ke pondok desa untuk menemui beberapa tokoh desa.
Sepulang dari pertemuan bersama tokoh-tokoh desa,
aku ke pantai karena tongkat kayuku tertinggal. Setelah itu, aku kembali pulang
ke rumah. Tetapi di perjalanan pulang aku merasa aku diikuti oleh seseorang.
Rerumputan tinggi yang kulalui semakin meyakinkanku dengan adanya suara
gemerisik dari belakangku. Saat aku mempercepat langkahku, gemerisik itupun
semakin cepat mengejarku. Aku yang agak takut akan hewan buas akhirnya berlari
sekencang mungkin agar sampai di desa itu. Dan saat aku berlari, aku tersandung
oleh batu yang cukup besar dan terjatuh ke tanah dengan buku-buku yang kubawa
tersebar disekitarku. Kudengar langkah-langkah berat seseorang. Tidak satu
orang ternyata, tetapi dua orang, yang melangkah sambil sedikit menyeret-nyeret
kakinya. Aku pun semakin siaga akan apapun yang terjadi.
“Hah, ternyata kalian,” kesalku kepada dua anak
spesial yang ternyata mengejarku saat aku di jalan pulang, “Ada apa toh?”
“Kami ingin tahu rumah Pak Arif dimana,” tukasnya
kurang jelas, tapi setidaknya aku mengerti sedikit apa maksudnya.
“Ya, bolehkan?” kata si Yoko yang bungsu dari dua
bersaudara itu. Kata-katanya juga agak kurang jelas. Hal itu mungkin karena
kelainan yang mereka miliki sejak lahir dalam berkata, menulis, dan bertingkah.
Kasihan sekali melihat tatapan mereka yang penuh percaya kepadaku.
“Ya, boleh. Mari Pak Arif tunjukkan,” ujarku
kepada mereka, dan mereka tersenyum.
Akupun menunjukan mereka rumahku yang merupakan
bangunan kecil di dekat rumah kepala desa. Mereka kuajak masuk kedalam dan
melihat-lihat seisi ruanganku. Dan sungguh mereka terkagum-kagum melihat
ruanganku yang isinya hampir dipenuhi lukisan-lukisan yang kubuat selama aku di
desa ini untuk memuaskan hobiku yang kugemari sejak kecil ini.
Mereka melihat-lihat sambil memadahkan pujian
“Waw”, “Hebat”, dan sebagainya. Mata mereka seperti melihat malaikat atau
surga, berbinar dan penuh kekaguman. Kedua anak spesial ini adalah bersaudara,
mereka Yoko, si bungsu, dan Kubu, si sulung yang dua tahun diatas Yoko. Aku tak
tahu seberapa mereka mengagumiku sebagai guru mereka.
“Pak, ini namanya apa?” tanya Kubu agak kurang
jelas mendekatiku sambil memutar-mutar bola matanya dan menjulurkan lidahnya.
Sedih aku melihat nasib yang terlukis di raut wajahnya.
“Itu lukisan, nak. Sebuah ide atau karya yang
dituangkan melalui alat-alat ini,” jawabku halus sambil menunjukkan beberapa
buah kuas dan cat-cat yang berantakan disekitarnya.
“Ini?” tanya Kubu menunjuk kuas, dan alat-alat
lainnya satu persatu. Aku pun menjelaskannya satu persatu tanpa berhenti,
seperti kereta yang sedang melaju. Pertanyaan demi pertanyaan dari mereka
menghujam pikiranku. Dengan daya penyampaianku yang terbatas, sering sekali
memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dari mereka. Akhirnya setelah lama aku
ditanyai dan menjelaskan, mereka menyatakan tertarik dalam melukis.
Dari situ, setiap sore, aku tak sendiri lagi ke
pantai untuk melukis. Karena aku telah berhasil memiliki dua orang asisten
baruku, yaitu Yoko, dan Kubu. Mereka telah bersedia untuk mau belajar melukis
setiap kali aku ada waktu. Tak pernah mereka absen datang ke sekolahku, dan
pelajaran lukisku. Mereka anak yang rajin, ulet, dan penuh semangat walau
kekurangan menutupi diri mereka dari luar. Tapi satu yang kuketahui, mereka
memiliki sebuah keahlian besar yang kasat oleh mata.
“Nah, sore hari ini, Pak Arif ingin kamu belajar
tentang cara menggambar pohon. Ayo, kalian coba,” ujarku kepada keduanya.
Merekapun langsung terdiam, dan mulai melihat pohon kelapa disekitarnya. Lalu
menyentuh kuas mereka dan menggambarnya. Jari-jari mereka yang lemah
mengayun-ayunkan kuas yang dipenuhi warna cat di kanvas yang kutitip dari Pak
Alio, seorang nelayan yang ke kota setiap harinya oleh karena desa ini sudah
mulai menjalin hubungan perekonomian dengan kota yang agak jauh dari sini.
Dengan cepat, dan gesit, setiap warna terurai
indah di atas kanvas tersebut. Kulihat bola mata mereka berputar liar, dengan
nafas yang sedikit tersengal-sengal entah mengapa. Lidah mereka agak terjulur
sedikit, dan tangan mereka yang kiri tergantung lipat seperti anjing yang
hendak diberi tulang. Aku sedikit takut melihat mereka dengan seksama.
Tak terasa matahari sudah membenamkan diri di ufuk
barat. Aku melihat karya mereka, dan terlonjak dalam hati, Astaga! Sungguh aku melihat sesuatu yang tak terduga dari jari-jari
manis kedua anak spesial yang kini duduk tersenyum memamerkan giginya yang
kuning langsat.
“Waw! Indah! Sangat indah, dan bernilai tinggi.
Waw!” tak henti-hentinya aku berkata seperti itu selama memandang dua buah
lukisan yang sangat indah walau sedikit agak kurang rapi. Nilai estetika sebuah
seni yang patut diacungi jempol yang ada dalam lukisan Yoko, dan Kubu. Kulihat dari setiap hasil goresan-goresan kuasnya
yang indah dan penuh kehidupan. Gambar sebuah pohon bakau yang begitu megah di
pinggir pantai. Dan gambar keduanya hampir sama.
“Kalian? Bagaimana bisa hampir sama keduanya ini?”
tanyaku masih tak percaya apa yang kulihat dihadapanku ini.
“Tak tahu. Tempat ini kulihat dalam mimpiku tadi
malam,” jawab si bungsu, Yoko.
“Ya, sama sepertiku,” tukas Kubu langsung menimpa
pernyataan Yoko. Aku bingung dan heran bagaimana bisa hal ini terjadi. Aku
merasa mungkin ini halusinasi, atau malah mimpiku sendiri dalam tidurku siang
bolong. Kutampar pipi kiriku pelan, tapi tak jua aku bangun. Agak keras, tapi
tak terjadi apa-apa. Kucoba sangat keras, tapi sama saja.
Hampir sebulan setelah kejadian itu, aku semakin
yakin bahwa kedua anak spesial ini memiliki bakat alami dalam diri mereka. Tak
bisa kupercaya memang, Tuhan menganugerahinya sebuah talenta melukis yang unik
dalam mereka. Aku pun sebisaku melatih mereka dengan penuh kesabaran. Dan
hasilnuya terbukti, hasil yang tadinya kurang rapi, kini kian rapi. Justru
mendekati sempurna. Layaknya lukisan maestro Indonesia, Affandi, lukisan itu
sangat indah dan menarik. Walau tercipta dari anak-anak yang justru jauh dari
normal.
Terkadang aku meneteskan air mata. Di setiap aku
melihat hasil karya mereka. Dan anehnya, setiap aku tanya ke mereka idenya
darimana, mereka hanya menjawab, dari mimpi. Sangat aneh, dan misterius. Aku
pikir mimpi itu jawaban yang main-main, tapi setelah aku meminta mereka
bagaimana mereka ketempat itu dalam mimpi mereka. Mereka menceritakan cerita
yang sama yang mereka alami. Tetapi berbeda alam satu sama lain. Aneh, sungguh
di luar akal sehat memang. Mereka unik dan spesial bagiku. Aku sempat
bertanya-tanya ke tetangga-tetangga, tentang keduanya, tapi tak ada yang tahu
dimana mereka tinggal, dan siapa orang tua mereka. Tapi ada beberapa yang
menyebutkan mereka tinggal di kaki bukit sebelah selatan.
Sampai-sampai suatu saat, aku tak melihat mereka
berdua datang lagi kepadaku. Sekitar tiga hari sudah mereka tidak datang untuk
belajar melukis kepadaku. Memang mereka sudah sangat pandai sekarang,
melukisnya malah jauh diatasku. Aku malah banyak belajar dari mereka.
Seratus hari lamanya aku menanti, dan tak ada
tanda kehadirannya lagi. Aku mengajar sepuluh anak tersisa di suatu pagi. Dan
saat aku mengajar di pantai, tiba-tiba seorang tua renta datang kepadaku dengan
membawa sebuah bingkisan persegi panjang yang dibungkus oleh dedaunan. Ia
mendekatiku dan bertanya.
“Saudara, Pak Arif?” suaranya agak serak basah.
“Ya, ini ada surat dari murid bapak, Yoko dan
Kubu. Hasil pengajaran bapak tentang tulis menulis membuat mereka bisa
meninggalkan sesuatu buat bapak sebelum mereka pergi.”
“Oh ya? Coba saya lihat,” kataku sambil aku
membuka gulungan kertas yang lingset itu dan membukanya. Tulisan-tulisan
berantakan yang tertulis dari cat air aku baca dengan penuh seksama.
Pak
Arif, ini kami Yoko dan Kubu. Sudah beberapa bulan, kami merasakan waktu kami
begitu indah, bisa melukis apa yang kami mimpikan setiap malam. Hanya itu
keinginan kami yang terakhir, yang kami ingin lakukan bersama orang yang kami
anggap seperti ayah kami sendiri, yaitu anda. Mungkin segala kekurangan ini
harus membuat kami pergi jauh, dan mungkin tak akan kembali untuk selamanya.
Tapi kami percaya, bahwa lukisan-lukisan kami dapat mengenangkan bapak akan
kami. Dan ini kami persembahkan hasil kami yang terakhir. Sebuah lukisan yang
kami buat bersama dalam satu kanvas.
Terima kasih juga untuk pendidikan yang bapak berikan dengan ini kami
bisa menulis surat untuk bapak. Salam, Yoko dan Kubu. Kami yang sudah tenang
dalam mimpi.
Tak kusadari air mata berlinang di kelopak mataku.
Aku yang tadinya tersenyum karena mendapat kabar dari mereka kini merasa
gemetar. Lemas sekali tubuhku, sampai-sampai aku tak kuasa membendung
tangisanku. Sosok yang penuh semangat, dan tak kenal menyerah walau segala
keterbatasan menutupi mereka, kini pergi, dan tak akan mengisi sore-soreku
melukis bersama mereka.
Satu tahun kemudian, aku yang sudah kembali ke
Yogyakarta menghadiri sebuah event
pameran lukisan seluruh Indonesia. Aku berdiri di sebuah lukisan yang dipajang
besar sekali disalah satu ruang pameran tersebut. Aku menatap gambar yang
sangat amat menakjubkan, sebuah taman yang hijau dan penuh dengan pepohonan
rimbun. Air sungai mengalir seolah-olah nyata. Disalah satu rantingnya,
sepasang manusia telanjang duduk menikmati segarnya buah yang dihasilkan salah satu
pohon di taman itu. Ditengah-tengah taman itu berkumpul danau dari empat sungai
yang menuju tengah taman. Langit biru menjulang, dengan awan memayungi awan
dari sinar matahari. Burung-burung berterbangan dari pegunungan menyusuri
lembah. Sebuah taman yang indah sekali.
Aku lihat dipojok kanan bawah aku melihat sebuah
kotak kecil tempat orang yang membuat lukisan itu menulis catatan kecil.
Tulisan-tulisan itu tergores halus dan sangat penuh dengan kesedihan mendalam.
Kami
sudah ada disini bersamaNya.
Yoko
dan Kubu.
Akupun menangis dan bersujud setelah membaca
tulisan tersebut. Dalam menangis aku bertanya, darimana Yoko dan Kubu tahu
taman firdaus. Sungguh misterius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar