Jumat, 01 Maret 2013

Nestapa Kesunyian



Wahai relung belulang malam
Dengan kelam
Yang tak berhingga menembus angkasa
Ditemani bulan merah padam.
Meratap tilas langit yang menyeruak

Awan hinggap di sisi-sisi gelap
Terbengkalai diinjak sang bintang
Kala itu, angin berdesis
Layaknya ular purnama di pematang
Menghapus setiap goresan keheningan yang tercipta

Sayang, kalong –kalong penari malam itu hilang
Ditelan goa kemarut yang pucat
Sayang, kemerlap kunang-kunang
Tak lagi gemerlap

Sedan tiada henti memangku kesunyian
Saat jiwa tiada lagi bertubuh, sendiri…
Terpeluk bekunya sepi yang mematikan
Terbelenggu pikiran,
Dicampur dengan segelas kenangan

Yang mana, beling-belingnya terkelupas
Menusuk setiap pori merah jantung
Merenggutku dari kehidupan

Ya, bulan merah padam.
Berbagilah nestapa ini, bersama gerombolan itu
Gerombolan tetaburan cahaya
Di kaki angkasa

Berbagilah nestapa denganku,
Agar tiada nelangsa mencabut jiwa ini
Tiada pedih terbekas
Kepedihan dari sang bidadari
Bidadari pengkhianat, yang bernama cinta

Yogyakarta, januari 2013

Pelataran Senja



Dibawah bebayang senja
Para jagung itu termenung
Membisu dalam kehijauan yang elok
Ditemani semilir angin penari

Permadani hijau terbentang
Mengelilingiku dibawah langit kuning langsat
Berlarian dikejar capung-capung manis
Sahabat para kunang-kunang gemerlap,
pengejar pelupuk sore yang lembut

Awan tergores elok di kanvas langit
Terlukis indah oleh Sang Maha Kuasa
Semburatnya tergantung indah di atas sana
Memayungi ladang jagung, tanah Kebumen ini

Panorama manis senja mengecup retinaku dengan lembut
Membentang terbujur di garis pandangku
Biru berpadu ungu bermandikan dengan cahaya surya yang tenggelam
Membuat langkahku membatu, kala langit terlukis indah seperti itu

Cahaya langit terbelah-belah
Menari indah berputar menembus sang awan yang terhapus gelap
Siluet perbukitan terpampang anggun melatarbelakangi kanvas itu
Dengan ladang jagung bermandikan pelita kekuningan

Ingin kutidur di penghujung langit
Melayang diatas hamparan hijau
Berbantal bukit tumpul, lalu menengadahkan kepalau ke angkasa
Terpesona aku, oleh indahnya langit di atas tanah tumpah darah ini
Tanah Nusantara. Indonesia

Kebumen, 20 Januari 2013

Selasa, 05 Februari 2013

Kunamai Hari ini: “Rally on Merapi Foot”


27 Desember 2012

Dana yang keluar:
1.       Masuk Daerah wisata Kaliurang 3000 per orang
2.       Parkir 2000 untuk motor, 4000 untuk mobil
3.       Tour dengan Jeep Rally 250 ribu per tur pendek. (5-6 orang)
4.       Total dana: 52 ribu per orang.

06.30 Awal Petualangan
                Diawali dengan sang surya yang menyembul di timur kota ini. Kota Yogyakarta. Kota seribu tempat wisata yang merupakan kota tempatku menempuh ilmu juga. Di kota inilah beberapa petualanganku lahir. Walau di tengah-tengah kesibukan kuliahku, aku selalu sempat berlibur ke beberapa tempat wisata. Tempat wisata yang menggambarkan bagaimana indahnya dan surgawinya negeri khatulistiwa ini. Negeri Indonesia.
                Pagi itu, adikku berteriak kencang dari bawah tempat tidurku.
“MAMASSS!” teriaknya seperti biasa. Teriakan yang justru aku rindukan selama satu semester berpisah karena ia masih sekolah di Cikarang.  Karena asalku Bekasi.
Dengan protes berat aku bangun. Maklum dengan tidur lewat tengah malam, pagi ini aku harus pergi ke kaki Merapi. Gunung teraktif di negeri ini.
Aku lihat tempat tidur sekitarku. Dan kosong. Apa?? Kosong? Pikirku. Hanya selimut dan bantal yang bisu menertawaiku. Jelas. Pagi ini, yang lainnya sudah sarapan di sebuah vila di kaliurang atas. Vila yang kami sewa sekeluarga. Omah Jawi.
Keluarga besar dari ayahku sedang berlibur di Yogyakarta. Semua berkumpul, dan berjalan-jalan bersama. Ya, itulah rutinitas kami setiap liburan natal. Bersenang-senang!
Aku segera saja mandi, dan mencuci mukaku. Untuk menghilangkan segala kantuk yang masih merasukiku. Tetapi saat menyentuh air gunung yang super dingin, aku mengurungkan niatku untuk mandi. Dan akhirnya aku benar-benar tidak mandi.
Tidak mandi sudah biasa. Sebab kalau di kaliurang atas, setiap detiknya kita sudah mandi dengan embun-embun yang membasahi kulit kita.
Segera saja aku sarapan. Sarapan yang enak demi mengisi tenaga untuk berpetualang hari ini. Rencana, kami sekeluarga besar ingin berlibur ke kaki Merapi. Ya, sebuah tempat yang ekspektasiku hanya biasa-biasa saja. Sebab, seringkali aku ke kaliurang , dan mendapati Merapi yang masih jauh. Aku pun tidak tahu bagaimana jalan ke tempat wisatanya selama satu tahun menetap di Jogja.
Perjalanan kami pun dimulai. Lima mobil melesat ke arah Merapi, dari villa yang kami tempati tadi. Hanya sekitar lima belas menit ternyata.
Selam di perjalanan, ada beberapa bangunan  bekas terkena egek letusan Merapi menyambut kami. Mereka terdiam terbata menatap sang gunung penguasa kota ini. Hingga kami temui sebuah bukit di sebelah kiri perjalanan kami. Bukit yang hijau itu dipenuhi ilalang dan rumput hijau yang membentang. Ditumbuhi pohon yang tak berdaun, dan menatap kami dengan senyum cakrawala berada di baliknya.
 Setelah mengarungi perbukitan di samping kiri kami, lima belas menit kami akhirnya sampai di hadapan Mahakarya Tuhan di utara Kota Yogyakarta. Kami berada di kaki Merapi. Sebuah tempat yang mampu membuatku tercengang. Sebuah kaki gunung yang mampu membuat bola mataku meleleh akan kemegahannya. Ia berdiri disana, di antara awan bulu putih. Berbalut hijaunya rimba bercampur cokelat manis sang pasir.
Udara sejuk menyapu rambut kami semua, saat menginjakkan parkiran berpasir. Aku tersenyum saat memandangi panorama surgawi di kaki gunung. Hutan menguliti kaki gunung itu, pohon-pohon menari indah seiring dengan hembusan angin. Dan langit yang dipenuhi warna biru terang menjadi atap kami di pagi hari  ini.
Kulihat awan bertekuk lutut indah di tilas langit. Terukir unik, ibarat potongan gambar dari sebuah kreasi potongan kertas lengkung. Tergantung indah di angkasa, dan tersenyum, seolah mengatakan: Selamat datang di Merapi!
Kami pun langsung berfoto ria bersama awan. Walau kamera yang kugunakan hanyalah kamera handphone, namun hasilnya cukup bernilai, karena setiap dari gambar berukuran kecil ini, memiliki sebuah nilai pengalaman yang besar. Sebuah foto yang membawaku kembali ke petualangan hari ini nantinya.
Pertama-tama, kami cukup bingung memilih jalan, atau naik jeep rally. Sebab, kami tidak tahu seberapa jauh jarak untuk ke kaki gunung Merapi. Pernah terjadi perdebatan akibat ketidaktahuan kami. Kami melihat mobil yang ingin naik ke atas, padahal kita sudah terlanjur di parkir di tempat ini. Dan kami mengira bahwa kita bisa membawa mobil sampai atas. Sampai salah satu tukang parkir memberitahu kami tidak bisa membawa mobil kami ke atas, sebab medan  yang ditempuh sangat sulit, dan cukup bahaya.
Kami pun akhirnya memutuskan untuk bertanya ke tur rally yang ada di dekat parkiran. Orang disana menjelaskan bahwa ada tiga jenis tur yang ada dalam pelayanannya. Yang pertama, tur 1 jam. Yang kedua adalah tur 2 jam, dan yang ketiga tur 3 jam. Karena aku tidak mengetahui bagaimana jenis-jenis turnya aku tidak tahu, tetapi sekilas dari poster yang kulihat, pengalokasian tempat yang dikunjungi sebagai berikut:
1.       Tur satu jam: Kaliadem, Batu alien, Kaki Gunung Merapi
2.       Tur dua jam: Kaliadem, Batu alien, Kaki Gunung Merapi, Sebuah Desa yang terkena lahar
3.       Tur tiga jam: Kaliadem, Batu alien, Kaki Gunung Merapi, Desa terkena lahar, Makam Mbah Marijan

Kira-kira seperti itu perincian yang ditawarkan. Dan akhirnya karena pengaruh harga, dan jumlah orang yang mau ikut terlalu tinggi, maka kami memutuskan untuk tur yang satu jam. Dan lima buah jeep rally dipersiapkan.
Pertama kali aku mengira, jalanan di sepanjang jalan sudah aspalan semua. Namun kenyataan yang kuterima berbeda.
Sebelum memulai perjalanan kami, kami sempat meributkan tentang pembagian jeep. Sempat aku ditaruh di saudara-saudaraku yang kecil, untuk menjagai mereka. Aku pun bersedih, karena aku sebenarnya ingin sekali menikmati tur ini bersama saudara-saudara yang sudah sebaya denganku. Namun untungnya, aku pun berhasil melaksanakan tur ini sejeep dengan saudara-saudara sebayaku. Dan perjalan menarik pun dimulai dari detik aku menaiki jeep itu! Let’s ride!
Jeep yang kutumpangi berwarna hijau tua, dengan spion keras, dan cukup besar. Ban raksasanya menggilas setiap kerikil yang ia lewati, dan tampilannya yang kuno eksotis membuat kami tampak seperti backpacker sejati yang siap mengarungi medan petualangan kami.
Kami pun berfoto ria di sepanjang kami mempersiapkan perjalanan kami. Sayang ada beberapa saudaraku yang tidak ikut. Tetapi tidak apa 5 jeep dengan full keluarga besar dari kakek ayahku siap berpetualang pagi ini.

08.25. Welcome to Merapi
Jeep berjalan. Supir jeep telah menyalakan mesin jeep, dan menggas jeep tersebut. Dan petualangan ke Gunung Merapi siap dilaksanakan.
Kami bersorak bergembira, hingga kami meninggalkan keramaian parkiran dan tempat istirahat awal.
Jeep membawa kami ke sebuah jalan kecil. Dan masih beraspal. Namun saat kami sudah sampai di sebuah pertigaan, kami mengambil jalan kecil, berpasir dan berbatu. Aku tidak tahu jalan itu jalan apa sebenarnya. Tetapi yang jelas, sebuah jalan offroad siap menyambut kami.
Benar saja. Ilalang kuning kehijauan menghiasi jalan kecil berpasir itu. Dan lama kelamaan, kami menyadari bahwa ada sebuah turunan curam di hadapan kami. Turunan yang membawa kami ke sebuah kali bekas lahar dingin Merapi mengalir. Kaliadem. Kali yang sangat lebar, dan dalam.
Dasar sungai yang kini mengering dan berpasir itu menyambut kami pagi ini. Beberapa dari kami berteriak penuh gembira saat melihat kenampakan alam pertama kaki gunung ini. Kali itu bagi orang yang selalu memandang kepadatan kota menjadi cicipan pertama pandangan kita. Namun bagiku yang sudah pernah ke salah satu kali di kaliurang, merasakannya biasa saja.
Tetapi, karena aku terlarut dalam kegembiraan bersama para saudaraku yang dominan dari Jakarta, aku pun merasakan suatu perjalanan offroad yang luar biasa. Kami berdiri di atas jeep, menikmati tebing-tebing berhiaskan lumut yang tinggi menjulang. Batu-batu sungai yang menghiasi perjalanan kami pun tersenyum senang melihat canda tawa kami.
Jeep kami bergoyang tak karuang, membuat kami terombang-ambing di atasnya. Dengan berpegan kedua tangan, aku tidak sempat mengambil gambar saat di kali itu, sebab jalanannya benar-benar membuat kami harus menjaga keseimbangan kami. Namun kunekatkan diri, untuk mengambil gambar dengan kamera Canon punya saudaraku, dan hasilnya pun lumayan bagus.
“Mas, lihat belakangmu!” seru saudaraku yang masih berusia 12 tahun. Laki-laki berkulit hitam, dengan kelopak mata cembung, dan hidung yang sedikit pesek. Rambutnya yang terkulai lemas di atas kepalanya pun tersisir angin dengan rapi.
Aku bersama beberapa saudara yang lainnya pun serentak menoleh ke belakang, dan Oh my God! Singgasana megah khas Merapi terpajang gagah di ujung pandangan kami. Bila kudeskripsikan Merapi pagi itu mungkin keadaanya seperti ini.
Merapi seolah terbelah menjadi dua pola, yang di sebelah timur ialah lereng dasar Merapi nan hijau. Dilapisi oleh pohon-pohon menjulang, dan lelumutan, serta ilalang-ilalang tinggi. Belum di tambah suasana hijau pemandangan sekitar Merapi, dan sungai besar yang terbentang luas menyebar ke segala arah dari gunung itu.
Sedangkan sisi kiri Merapi dari sudut pemandanganku ialah pasir cokelat, dan pasir abu-abu yang melapisi puncak lereng itu. Namun sebagian kecil dari lereng atas Merapi terbalut dengan awan putih seperti bulu biri-biri. Langit biru terang membentang, sebagai latar belakangnya. Alas hijau terjabar dalam bentuk sawah, hutan-hutan kecil, dan lapisan lumut yang melumuri tanah sekitar gunung itu. Walau tidak terlihat cukup jelas, namun keindahan Merapi saat itu cukup untuk sebagai hidangan pembuka mata pagi ini.
Setelah melepas offroad di Kaliadem, kami menaik sebuah jembatan aspal yang rendah. Kami menyebrang kali itu, dan tepat di ujung seberang jembatan itu, kami berhenti sejenak. Walau jarak terhadap Merapi lebih jauh, namun Merapi tampak lebih anggun jika dilihat dari jarak sejauh ini.
Kami berhentu menikmati pemandangan tebing kali tersebut, dengan Merapi nun jauh disana berada di tengahnya. Waktu itu awan membuka wajah sang puncak, namun hanya beberapa saat kami berfoto saja. Setelah tiga foto terakhir, awan berbulu itu menutupi puncak lagi.
Setelah kami beristirahat sejenak dengan berfoto ria, kami pun langsung menaiki jeep kami untuk menempuh perjalanan kami selanjutnya. Dengan melewati bekas desa yang pernah terkena awan panas, kami merasakan suasana hening yang mencekam. Bangunan dan reruntuhan bangunan itu menatap kami penuh kesedihan. Seolah cerita mengenai bagaimana awan panas itu kemari beberapa tahun silam, tersampaikan melalui kesedihan yang tampak dari bangunan itu. Hanya sesaat saja saat melewati reruntuhan bangunan itu, sebab, bangunan ini adalah sisa peninggalan bangunan sebelum erupsi Merapi tahun 2006. Karena yang pada saat 2010 waktu itu ke arah barat. Walaupun begitu keadaan haru dan sedih menyentuh benak kami saat melewati reruntuhan bisu tadi.
Tak lama kami mengarungi ladang ilalang, dan tebing-tebing kecil, kami pun akhirnya melewati sebuah padang pasir yang ada di tenggara tempat awal kami tadi. Padang pasir yang penuh dengan rumput-rumput tumbuh karena reboisasi alami. Disana terjabar luas pemandangan sekitar Merapi. Teramat luasnya padang itu, mampu menyimpan berbagai warna panorama. Pertama, jelas Gunung Merapi makin dekat terlihat dari titik itu, kedua ialah, bebatuan yang terletak di timur laut padang pasir ini. Ketiga adalah Green Canyon kecil yang terbuat di sepanjang kali dekat situ. Lelumutan yang melapisi lapisan tebing kali itu membuat kali itu seolah seperti canyon, dank arena lumutnya berwarna hijau, jadi seperti Green Canyon. Belum lagi kelok-kelokan halus di sepanjang selusur sungai itu, yang membuat lapisan tebing itu indah terlukis disana. Lalu ada hutan kecil di seberang sungai. Hutan kecil itu terdiri dari pepohonan pendek yang berjajar rapi karena reboisasi non alamiah. Para penduduk warga pun yang menanam tanaman itu.
Foto 1.1 Saat bersama-sama diatas Jeep.
Uniknya lagi, salah satu tujuan kita kemari adalah karena sebuah batu yang jatuh dari lereng Merapi. Batu yang unik, yang menyerupai ukiran wajah manusia. Batu yang dinamai oleh warga setempat: Batu Alien.
Batu Alien itu berdiri tegap di antara lautan pasir. Dengan berbagai panorama di sekitarnya. Batu itu dipasang di sebuah area tertentu, dengan dibuat juga gapura dari kayu. Gapura kecil tempat kita masuk dan menikmati bukit kecil pasir dan batu itu, dihiasi oleh tengkorak hewan-hewan korban erupsi tahun 2010. Sungguh membawa perasaan mencekam, namun sangat indah untuk dinikmati.
Foto 1.2 Bersiap melanjutkan perjalanan ke singgasana Merapi.
Kami tidak bisa menikmati panorama itu terlalu lama, hal itu disebabkan oleh karena waktu yang terbatas pada tur kami kali ini. Sehingga dengan waktu yang singkat, kami pun segera melesat ke suatu tempat dimana Maha Karya itu terlihat dengan jelas. Tempat pandang Merapi.
Untuk mencapai daerah yang menjadi titik puncak perjalanan kali ini, kami melewati pinggiran kali, dan beberapa hutan kecil. Kami mulai mendekat dan terus mendekat ke arah gunung teraktif ini. Hingga kami menemui padang pasir kembali. Padang pasir yang letaknya kurang dari 4 kilometer dari puncak Merapi. Super menakjubkan pemandangan di tempat ini.
Tidak hanya menikmati pemandangan gunung indah itu, melainkan seluruh wajah Kota Yogyakarta pun terlihat. Dihiasi awan yang indah. Awan yang tertenun dalam atmosfer. Belum lagi berbagai panorama yang tercipta disekitarnya. Akhirnya kami pun menginjak tanah surga Yogyakarta. Kaki Gunung Merapi. Dan berikut salah satu bagian dimana saya menaiki sepeda motor offroad dibawah lukisan langit yang indah.
                Foto 1.3 Disaat bersepeda motor di kaki gunung.
Di hadapan sisi satunya terdapat pemandangan kaki gunung yang hijau, dan megahnya Gunung Merapi. DIhitari pemandangan kali yang bertebing tinggi, pepohonan cemara, dan bukit yang hijau membuat mata terasa sejuk sekali. Awan kala itu benar-benar tidak bersahabat. Ia menutupi eloknya tubuh Merapi kala itu. Ya berikut kurang lebih pemandangan yang bisa saya dapatkan dari sana.
               
Foto 1.4 Bersama Sang Fenomenal dari Yogyakarta.
Setelah puas menikmati panorama menakjubkan di Merapi ini, kami melewati lautan pasir menuju sebuah rumah dimana di rumah itu terjadi peninggalan sejarah meletusnya Merapi tahun 2010. Ya, letusan mahadahsyat itu terkenang abadi dalam benda-benda yang tersimpan disana.

Berikut adalah penggalan foto yang menggambarkan benda-benda tersebut.
(Foto masih di dek kio)
Beberapa warga menjaga rumah peninggalan sebuah keluarga yang hancur tersebut. Disana terdapat foto-foto using, sendok-sendok bengkok, bangkai sepeda motor, bangkai seekor sapi ternak, jam saat meletusnya merapi yang rata dengan dinding, lalu uang yang lebur, dan beberapa perabotan rumah lainnya. Sungguh mengesankan karena mampu merasakan aura kesedihan yang luar biasa jika memasuki rumah tak beratap itu.
Karena sungguh dahsyatnya Merapi kala itu, ternyata ada sebuah kisah persahabatan yang diceritakan sekilas oleh seorang penjaga rumah itu.
“Waktu meletusnya Merapi tahun 2006, ada sepasang sahabat yang terjebak saat  meletusnya gunung itu. Seorang diantaranya tidak selamat karena terlebih dahulu terkena salah satu awan panas, yang satunya selamat karena berada di bunker. Namun karena kurang beruntung, bunker tersebut ternyata ditimpa oleh bebatuan dari Merapi. Sehingga saat awan panas menyapu daerah itu, sahabat satunya terpanggang oleh awan panas itu, menyusul sahabat yang satunya. Dan salah satu dari mereka adalah teman saya.”
Membayangkan cerita itu, sungguh membuat fantasi liarku menggambarkan apa yang terjadi. Aku sempat berpikir, betapa panasnya berada di dalam bunker yang digilas oleh awan panas. Seolah, kita benar-benar terpanggang dalam sebuah oven. Dan rasanya pasti menyakitkan.
(Semoga arwah para korban Merapi yang tertulis dalam cerita ini dapat diterima disisi Yang Maha Kuasa, dan diberkati selalu dalam kuasa-Nya.)
Kemudian segera itu, kami kembali lagi ke penginapan kami. Dan merasakan petualangan yang seru kali ini. Berharap lain kali bisa ke tempat ini bersama orang yang dikasihi.